Hal ini menyusul Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia stagnan di angka 34 pada tahun 2023.
Adapun IPK terbesar diraih pada awal periode kedua Presiden Joko Widodo pada tahun 2019 dengan skor 40.
Namun, angkanya kembali turun menjadi 37 di tahun 2020, kemudian naik sedikit di angka 38, dan turun lagi menjadi 34 pada tahun 2022 dan 2023.
"Pencapaian tertinggi kita di tahun 2019. Dua tahun kemudian turun drastis dan ketika kita tarik rata-rata kenaikannya, hanya 0,7 (poin). Artinya perlu usaha yang sangat keras, kita butuhkan usaha yang lebih keras," kata Deputi Sekretaris Jenderal TII Wawan Heru Suyatmiko dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Selasa (30/1/2024).
Ia menuturkan, ada tiga klaster rekomendasi yang diberikan TII untuk memperbaiki indeks korupsi.
Dari aspek demokrasi dan pemilu, pemerintah, penyelenggara, dan peserta pemilu wajib menjamin proses pemilu yang demokratis dan terintegritas.
"Sebab, warga negara berhak mendapatkan kandidat yang berkualitas," kata dia.
Di aspek keadilan, pemerintah dan badan pengadilan harus independen dan imparsial dalam penegakan hukum.
Negara, kata dia, wajib melindungi hak warga negaranya untuk mengakses keadilan dan melawan impunitas terhadap korupsi.
"Ketiga di aspek pemberantasan korupsi, saya kira presiden, pemerintah, parlemen, dan lembaga peradilan berkomitmen kuat dalam upaya pemberantasan korupsi yang jauh lebih terdampak," tutur dia.
IPK di angka 34 membuat peringkat Indonesia merosot menjadi 115 dari 180 negara di tahun 2023.
Sedangkan di tahun 2022, peringkat Indonesia berada di angka 110 dari 180 negara.
Skor ini pun membuat Indonesia berada jauh di bawah Singapura, diikuti Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Secara berurutan, skor IPK Singapura berada di angka 83 pada tahun 2023, stagnan dibanding tahun lalu.
Diikuti Malaysia dengan skor 50, Timor Leste dengan skor 43, Vietnam dengan skor 41, dan Thailand dengan skor 35.
Adapun negara ASEAN lain yang berada pada angka yang sama atau di bawah Indonesia adalah Filipina dengan skor 34, Laos dengan skor 28, Kamboja 22, dan Myanmar 20.
Tercatat, ada 8 indikator yang digunakan TII dalam menyusun IPK.
Dari 8 indikator, ada satu indikator atau sumber data mengalami penurunan dibanding temuan tahun sebelumnya, yaitu PRS international Country Risk Side yang merosot 3 poin dari 35 menjadi 32.
Jika ditarik lebih jauh maka terjadi penurunan sebesar 16 poin dalam dua tahun terakhir.
Sedangkan, tiga sumber data mengalami kenaikan yakni Bertelsmann Transformation Index (+3) dari 33 menjadi 37, IMD World Competitiveness Yearbook (+1) dari 39 menjadi 40, dan Varieties of Democracy Project (VDem) (+1) dari 24 menjadi 25.
https://nasional.kompas.com/read/2024/01/30/18040341/ipk-indonesia-stagnan-pemerintah-diminta-lebih-serius-berantas-korupsi