JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut, Pemilu 2024 bakal dihadapkan dengan sejumlah tantangan.
Tak cuma pemilu presiden (pilpres), tapi juga pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Menurut Titi, salah satu bayang-bayang persoalan yang kerap ditemui di setiap pemilihan ialah jual beli suara. Padahal, politik transaksional memicu terjadinya korupsi.
“Perilaku pragmatis untuk menang pemilu menggunakan jalan pintas politik transaksional berupa jual beli suara,” kata Titi kepada Kompas.com, Kamis (17/11/2023).
“Hal ini akan sangat menciderai proses pemilu serta menjadi pemicu korupsi politik pejabat yang terpilih saat memangku jabatannya,” tuturnya.
Kedua, potensi penyebaran informasi bohong, baik misinformasi, disinformasi, atau fitnah pemilu lainnya. Jika pemilih memilih capres-cawapres atau anggota legislatif karena terpengaruh informasi bohong, kata Titi, suaranya menjadi tidak bermakna dan tak sesuai kehendak bebasnya sebagai pemilih.
Potensi persoalan lainnya, ketidakpahaman terhadap prosedur pemilihan karena kompleksitas pemilu yang sangat rumit. Sebab, pada Pemilu 2024, pemilih akan mencoblos lima surat suara yang terdiri dari pilihan capres-cawapres, anggota DPD, anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota.
“Hal itu bisa berdampak pada tingginya surat suara tidak sah sebagaimana Pemilu 2019 lalu yang mencapai 17,5 juta lebih untuk pemilu DPR,” ucap Titi.
Keempat, potensi masalah pengadaan dan distribusi logistik pemilu seperti surat suara atau kotak suara. Bukan tidak mungkin logistik tertukar, kurang, rusak, atau terlambat tiba di tempat pemungutan suara TPS.
“Hal itu bisa berakibat ketidakpercayaan publik pada KPU serta bahkan bisa memicu kegaduhan di antara pemilih dan peserta pemilu,” kata Titi.
Potensi gangguan lainnya, terkait serangan siber, utamanya yang menyasar sistem teknologi informasi yang digunakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Titi menyebut, serangan siber bisa berdampak sangat fatal bagi kredibilitas pemilu dan dapat memicu ketidakpercayaan yang meluas terhadap penyelenggara dan hasil Pemilu 2024.
“Pemilu itu bukan hanya soal mencoblos, tapi juga memastikan seluruh rangkaian prosesnya diselenggarakan dengan benar dan kredibel, sebagaimana aturan main yang demokratis,” tutur Titi.
Adapun pada Pilpres 2024, KPU telah menetapkan tiga pasangan capres-cawapres sebagai peserta yang akan berlaga.
Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menjadi capres-cawapres nomor urut 1. Pasangan calon ini diusung oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang terdiri dari Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Ummat.
Sementara, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menyanding nomot urut 2. Pasangan capres-cawapres ini diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM).
KIM sendiri merupakan kongsi dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).
Pasangan capres-cawapres lainnya, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, tercatat nomor urut 3. Pasangan ini didukung oleh PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, dan Partai Perindo.
Tahapan Pemilu 2024 akan memasuki masa kampanye pada 28 November 2023. Kampanye bakal berlangsung selama 75 hari hingga 10 Februari 2024.
Pada 14 Februari 2024 akan digelar pemungutan suara serentak di seluruh Indonesia. Tak hanya untuk memilih presiden dan wakil presiden, tetapi juga anggota DPD, DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
https://nasional.kompas.com/read/2023/11/17/10335731/pengamat-pemilu-2024-dibayangi-politik-transaksional-hingga-berita-bohong