JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah partai politik gagal memenuhi syarat pengusulan 30 persen calon anggota legislatif (caleg) DPR RI perempuan di beberapa daerah pemilihan (dapil), berdasarkan Daftar Calon Tetap (DCT) yang diumumkan KPU RI sejak 3 November lalu.
Padahal, pengusulan minimum 30 persen caleg perempuan merupakan syarat keikutsertaan partai politik pada pemilu legislatif (pileg) di dapil tersebut.
PKB, Partai Golkar, Demokrat, Hanura, dan Ummat, misalnya, hanya menempatkan 1 perempuan dari 4 caleg yang diusung di dapil Bengkulu (25 persen).
Di dapil Aceh, hanya Partai Buruh, Garuda, PSI, PKS, PAN, Hanura, dan Perindo yang menempatkan lebih dari 30 persen caleg perempuan dari 7 kursi yang tersedia di dapil tersebut.
Hal ini akhirnya menjadi problem tersendiri.
Ketika pendaftaran caleg dibuka 1-14 Mei 2023, melalui Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023, KPU menyatakan bahwa 1 perempuan dari 4 caleg yang diusung memenuhi hitungan 30 persen.
Pasal itu mengatur soal mekanisme pembulatan ke bawah untuk menghitung 30 persen jumlah caleg perempuan.
Misalnya, jika di suatu dapil terdapat 4 kursi, maka hitungan jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya akan menghasilkan angka 1,2.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 4 caleg di dapil itu cukup hanya 1 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Padahal, 1 dari 4 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen sebagaimana dipersyaratkan Pasal 245 UU Pemilu.
Pasal ini belakangan dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada 29 Agustus 2023, ketika partai politik kadung mengusulkan daftar calegnya ke KPU untuk diverifikasi.
MA mengembalikan mekanisme pembulatan ke atas. Sehingga, hitungan keterwakilan caleg perempuan dari 4 kursi yang ada minimum 2 orang.
Namun, KPU tak merevisi aturan yang dibatalkan MA, termasuk mengatur bagaimana kepastian hukumnya karena partai politik kadung mendaftarkan bakal caleg sebelum MA mengubah aturan.
Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai KPU membangkang regulasi, termasuk Putusan MA Nomor 24/P/Hum/2023 tersebut, seandainya tetap meloloskan partai politik yang gagal memenuhi ketentuan MA.
"Jika KPU tetap meloloskan, dapat dikatakan KPU telah membangkang terhadap perintah UU dan juga putusan MA," ujar Titi, Selasa (7/11/2023).
Titi bersikeras bahwa partai politik yang gagal memenuhi 30 persen caleg perempuan di suatu dapil seharusnya tidak diterima pengusulannya. Sebab, itu merupakan syarat pengajuan bakal caleg.
Ini sama seperti halnya, KPU tidak bisa menerima calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) usungan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas pencalonan presiden, sebab keterpenuhan ambang batas itu merupakan syarat pengajuan bakal capres-cawapres.
"Partai politik yang tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen harus didiskualifikasi sebagai peserta pemilu di dapil tersebut," kata Titi.
Sementara itu, KPU RI sebelumnya berdalih bahwa mereka tak bisa menempuh langkah diskualifikasi, karena tidak terdapat ketentuan sanksi bagi partai politik yang gagal memenuhi syarat 30 persen caleg perempuan.
Lembaga penyelenggara pemilu itu juga selalu menyoroti, keterwakilan caleg perempuan secara akumulatif dari 9.917 caleg yang akan bertanding pada Pemilu 2024 sudah di atas 30 persen, meski UU Pemilu mensyaratkan keterwakilan 30 persen caleg perempuan itu dihitung per dapil.
"Secara akumulatif rata-rata pencalonan perempuan menjadi caleg dalam DCT untuk Pemilu Anggota DPR RI sebesar 37,13 persen untuk 18 parpol peserta pemilu," kata Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, Idham Holik, kepada Kompas.com, Selasa.
https://nasional.kompas.com/read/2023/11/07/11480761/sejumlah-dapil-masih-kekurangan-caleg-perempuan-kpu-membangkang-putusan-ma