JAKARTA, KOMPAS.com - Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun memandang bahwa republik ini seperti mundur kembali ke abad ke-18, meskipun berwajah baru melalui pemilihan umum (pemilu).
Hal ini disampaikan menanggapi pernyataan dari bakal capres Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap memberikan "lampu hijau" pada langgengnya dinasti politik.
Adapun Prabowo menganggap dinasti politik hal biasa di Indonesia dan juga dilakukan olehnya, kemudian Jokowi juga mengaku menyerahkan pada masyarakat untuk memilih terkait dinasti politik.
"Jika politik dinasti terus ditumbuhkan, republik ini secara substantif seperti mundur kembali ke abad ke-18 meskipun berwajah baru melalui pemilihan umum," kata Ubedilah kepada Kompas.com, Rabu (25/10/2023).
"Penolakan terhadap dinasti politik itu penting karena dalam dinasti politik siklus kekuasaan hanya berputar di lingkaran yang sama, artinya lingkaran kekuasaan yang sama karena memiliki sumber daya yang besar akan cenderung berkuasa lama," sambungnya.
Aktivis 1998 ini kemudian menyebutkan sejumlah riset terpercaya mengenai kekuasaan yang berlangsung lama dan secara turun temurun itu cenderung korup dan berpotensi melakukan cara-cara praktik otoriter.
Bahkan, menurutnya, hal ini sudah diingatkan sejak akhir abad 19 oleh ilmuwan sosial Lord Acton dengan menyuarakan "Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely".
"Kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan yang absolut pasti korup. Perlu diketahui publik bahwa dinasti politik itu mengalami dinamika dalam konteks yang baru seiring dengan perkembangan demokrasi," jelas Ubedilah.
Ubedilah juga mengungkit bahwa dinasti politik berubah menjadi dynastic democracy, di mana suatu pemerintahan demokrasi yang menjalankan pemilu, tetapi yang selalu terpilih adalah mereka yang memiliki hubungan darah atau hubungan kekeluargaan dengan penguasa sebelumnya.
"Kasus dinasti Joko Widodo di Indonesia ini masuk kategori dinasti demokrasi itu. Tetapi kasus keluarga Joko Widodo ini lebih parah karena terjadi di saat Joko Widodo masih berkuasa justru membiarkan bahkan mendukung anak dan menantunya menjadi wali kota, menjadi ketua umum partai dan kini menjadi calon wakil Presiden," urai Ubedilah.
Dia menambahkan, kasus dinasti politik Jokowi bahkan lebih parah daripada Presiden Amerika Serikat George Bush. Anak George Bush, jelas dia, baru menjadi presiden setelah delapan tahun sang ayah lengser.
"Jadi ada jeda waktu dua periode kekuasaan Presiden sebelumnya. Oleh karenanya untuk negara seperti Indonesia yang tingkat pendidikannya masih rendah perlu ada regulasi yang menjeda atau membuat jeda bagi mereka yang memiliki hubungan darah dengan penguasa petahana agar tidak menjadi capres-cawapres sebagai upaya untuk membuat demokrasi tidak selalu dibajak berturut-turut oleh pembajak yang sama," ujar dia.
Diketahui, pada Pilpres 2024, Prabowo Subianto berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan anak sulung Presiden Jokowi.
Pasangan ini diusung oleh Koalisi Indonesia Maju yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, Partai Gelora, Partai Garuda, dan Prima.
Selain Prabowo-Gibran, ada dua pasangan lain yang mendaftarkan menjadi peserta Pilpres 2024, yaitu Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin).
Adapun Ganjar-Mahfud diusung PDI-P, PPP, Partai Hanura, dan Partai Perindo. Sedangkan Anies-Cak Imin didukung Partai Nasdem, PKB, dan PKS.
https://nasional.kompas.com/read/2023/10/26/05415751/soroti-pernyataan-prabowo-dan-jokowi-soal-dinasti-politik-pengamat-republik