Adapun dugaan aliran dana hasil korupsi untuk perawatan wajah keluarga Syahrul itu diungkapkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
“Sepanjang yang kami ketahui soal keluarga itu tidak ada,” kata kuasa hukum keluarga Syahrul, Djamaludin Koedoeboen dalam konferensi pers di kantornya, Jalan Warung Buncit, Jakarta Selatan, Selasa (24/10/2023).
Meski demikian, Djamaludin menyebutkan, pihaknya memaklumi KPK yang berwenang mengungkapkan penjelasan apapun terkait dugaan korupsi Syahrul.
Ia enggan menjelaskan lebih lanjut terkait sejumlah dugaan penggunaan uang hasil korupsi keluarga Syahrul lebih lanjut.
Menurutnya, pengacara Syahrul, Febri Diansyah lebih mengetahui persoalan tersebut karena mengawal kasus ini sejak awal.
Sementara, Djamaludin dan timnya baru mendapatkan kuasa dari keluarga Syahrul pada 15 Oktober 2023 kemarin.
“Barangkali Mas Febri lah, karena kan Mas Febri yang kemudian dari awal mendrive ini case sehingga beliau tahu lebih banyak,” tuturnya.
Sebelumnya, Alexander Marwata menyebut, keluarga inti Syahrul diduga menikmati uang hasil korupsi pemerasan dalam jabatan dan gratifikasi.
Berdasarkan temuan tim penyidik, uang panas itu diduga digunakan untuk biaya pengobatan dan perawatan wajah keluarganya dengan nilai miliaran rupiah.
Selain perawatan wajah, uang diduga hasil korupsi itu juga digunakan untuk biaya renocasi rumah, membayar cicilan kartu kredit, dan cicilan pembelian mobil Alphard.
Selain Syahrul, perkara ini juga menyeret dua anak buahnya yakni, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Muhammad Hatta sebagai tersangka.
“Penggunaan uang oleh Syahrul yang juga diketahui Kasdi dan Hatta antara lain untuk pembayaran cicilan kartu kredit dan cicilan pembelian Alphard milik Syahrul,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers di KPK, Jakarta, Rabu (11/10/2023).
Adapun uang yang digunakan untuk cicilan tersebut, dikumpulkan oleh Kasdi dan Hatta dari para pegawai negeri sipil (PNS) eselon I dan II di lingkungan Kementan.
Mereka diduga mengutip setoran itu secara paksa dari para pejabat Kementan. Mereka antara lain, Direktur jenderal, Kepala Badan hingga Sekretaris di masing-masing eselon I.
Nilainya mencapai 4.000 hingga 10.000 dollar Amerika Serikat (AS) per bulan.
Tanak mengatakan, uang panas itu diduga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi Syahrul dan keluarganya.
Menurut Tanak, jumlah keseluruhan uang panas yang dinikmati Syahrul, Kasdi, dan Hatta sekitar Rp 13,9 miliar.
“Penelusuran lebih mendalam masih terus dilakukan tim penyidik,” ujar Tanak.
Karena perbuatannya, mereka disangka melanggar Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Syahrul Yasin Limpo juga dijerat dengan Pasal 3 dan pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
https://nasional.kompas.com/read/2023/10/24/20352581/pihak-keluarga-syahrul-limpo-bantah-pakai-uang-hasil-korupsi-untuk-perawatan