Salin Artikel

Politik Mendesakkan Keinginan

Ia ditemukan oleh rakyatnya sendiri, lalu diseret di jalanan pakai mobil sembari diludahi dan dilempari.

Adios Gaddafi. Apa yang kamu tanam, itu yang kamu tuai.

Di Irak, Saddam Hussein yang mengikuti pola dan gaya kepemimpinan Gaddafi, juga mengalami nasib tragis, sama dengan Gaddafi.

Ia dibawa ke tiang gantungan untuk mengakhirkan hidupnya. Ia bertangan besi, mengintimidasi, menindas dan melumat siapa saja yang ia kehendaki, termasuk menantu lelakinya. Ia brutal dalam menjalankan roda kekuasaan.

Selamat jalan Saddam. Tiap kesalahan ada keadilan yang mengiringinya.

Kedua pemimpin tersebut rontok secara mengenaskan. Penarik pelatuk kejatuhan mereka, antara lain, masalah anak.

Gaddafi sudah memberi akses besar ke putranya, Muhammad Islami, untuk ikut mengontrol jalannya kekuasaan dan pemerintahan.

Saddam Hussein juga memiliki tabiat sama. Memberi keleluasaan pada putranya sendiri, Uday Hussein, ikut campur tangan pengelolaan kekuasaan.

Presiden Ferdinand Marcos di Filipina, berkuasa selama 22 tahun, juga dengan tangan besi, berlumuran darah. Ia menggilas siapa saja yang ia kehendaki.

Marcos memberi jalan ke istrinya sendiri, Imelda Marcos, menjadi penentu jalannya pemerintahan dan politik negeri itu. Imelda bahkan menjadi Gubernur kota Metropolitan Manila.

Setelah berkuasa selama 32 tahun, Presiden Suharto akhirnya juga tumbang dari kekuasaan. Lagi-lagi, juga ada kaitannya dengan gaya kepemimpinan yang serba mengatur, termasuk mengatur dan memaksakan putrinya sendiri, Mbak Tutut, terjun di politik.

Sang putri diangkat sebagai Menteri Sosial, meski hanya dua bulan, sebab terlanjur Suharto dipaksa mundur.

Rakyat muak dengan pola kepemimpinan seperti itu. Negara seolah-olah hanya dimiliki oleh para pemimpin sejenis itu.

Mereka menjadikan negara sebagai properti diri dan keluarga belaka. Rakyat hanyalah penyewa, yang setiap saat bisa dikeluarkan dari rumah kontrakan, kapan saja.

Rakyat kecewa dengan pemaksaan anak atau anggota keluarga untuk dijejalkan sebagai pemimpin. Rakyat menginginkan kesejatian, bukan dengan cara-cara kotor, penuh intrik dan intimidasi.

Bukan dengan cara-cara pemaksaan lalu dibungkus dengan kepura-puraan bahwa rakyat menghendaki demikian.

Lantas, ada yang mengatakan, bagaimana dengan Presiden John F. Kennedy di Amerika Serikat, yang mengangkat adiknya sendiri, Bob Kennedy sebagai Jaksa Agung Amerika Serikat? Apakah ini juga refleksi dari kesemena-menaan?

Ketika itu, rakyat Amerika mendukung dan membela mati-matian keputusan John F Kennedy itu, karena mereka paham dan tahu betul kualitas kecerdasan dan rekam jejak Bob Kennedy.

Rekam jejak dalam konteks kepiawaian mengelola kehidupan publik. Ia memiliki jejak panjang ke belakang tentang itu. Ia dipersonifikasi sebagai pembela kaum papa.

Tatkala John F Kennedy meninggal, Bob Kennedy digadang-gadang sebagai calon Presiden Amerika Serikat. Sayang, Bob mengikuti jejak abangnya sendiri, mati tertembak.

Bukan hanya di Amerika Serikat rakyat mencintai otentitas calon pemimpin. Di negeri-negeri lain juga seperti itu, termasuk di negeri kita ini.

Buktinya, rasa kemarahan dan kemuakan rakyat memuncak tatkala mendiang Suharto memberi jalan kekuasaan kepada putrinya sendiri.

Di mana pun, rakyat menginginkan harkat dan martabatnya dihargai. Harkat dan martabat manusia itu ada pada kebebasan dan persamaan yang dimilikinya.

Kebebasan untuk menentukan pilihannya. Persamaan untuk diperlakukan seperti yang lain-lain. Tidak dibuatkan jalan tol, bebas hambatan kepada orang tertentu, termasuk kepada anak-anak dan kerabat pemangku kekuasaan. Di sini berlaku prinsip equal opportunity.

Di negeri kita sekarang ini, penampangan politik kita muncul dengan beragam rupa. Ada agenda khusus yang bernama politik uang. Ada juga politik penjara, yang berarti, semua yang tidak dikehendaki, akan diancam dengan penjara dengan rupa-rupa tuduhan.

Berikutnya, ada politik sayang anak. Yang terahir ini kian mengemuka sekarang ini.

Apakah salah bila anak mengganti bapak dalam pentas kekuasaan?

Sangat tidak salah, selama Bapak tidak menggunakan tangan kekuasaannya untuk mendongkrak anak mengganti dirinya.

Kita lihat Presiden George Bush di Amerika Serikat. Bush senior tidak menyalahgunakan kekuasannya untuk memaksakan putranya jadi presiden, sebab itu terjadi setelah ia tidak menjabat lagi.

Bush Yunior naik karena kemampuan sendiri. Tidak didongkrak oleh sang ayah. Apalagi menggunakan instrumen negara.

Kita juga menyaksikan Aquino Jr. menjadi Presiden di Filipina. Ia meneruskan legasi mendiang ibunya, Corazon Aquino.

Tak ada riak, nihil protes, sepi dari pergunjingan karena Aquino Jr. terpilih bukan lantaran pengaruh pat gulipat ibunya.

Corazon Aquino tidak lagi berada dalam kekuasaan tatkala putranya itu jadi presiden. Tak ada unsur pemaksaan dan permainan "taka tiki" politik yang sarat dengan kekotoran dan imoralitas di dalamnya.

Lantas kita pun semua bertanya, mengapa harus ada politik sayang anak?

Jawabannya sangat singkat. Ingin kekuasaan itu dilanjutkan oleh pewaris berdasarkan garis darah. Ini menyangkut legasi ke depan.

Berikutnya, politik sayang anak terjadi karena ada kekhawatiran pada masa depan, tatkala sudah tidak menggenggam kekuasaan, beragam soal kemungkinan bisa terjadi.

Nah, apa salahnya bila anak yang menggantikan dirinya. Seburuk-buruk akhlak seorang anak, ia tidak akan mencederai orangtuanya. Begitu kira-kira jalan pikiran orang yang menganut paham politik sayang anak.

Simpul kata, lembaran-lembaran sejarah itu tidak sekadar halaman-halaman, tetapi di dalamnya banyak pelajaran berharga.

Sejarah tentang kekuasaan, sebagian lembaran-lembarannya adalah buram. Banyak di antara lembaran itu berkisah tentang keruntuhan kekuasaan yang angkuh.

Rontoknya kekuasaan angkuh tersebut, banyak dipicu oleh penguasa yang amat mahir mendesakkan keinginan, memaksakan kehendak, dan menjejalkan kemauan, untuk menjadikan anak-anak mereka sebagai pengganti dirinya. Ironi dalam dunia demokrasi.

Sayang sekali, masih banyak orang, tatkala memegang kekuasaan, langsung mengidap penyakit amnesia sejarah.

Bila demikian, kita tunggu saja rontoknya kekuasaan yang dipegang oleh para pengidap amnesia sejarah itu.

https://nasional.kompas.com/read/2023/09/25/09411711/politik-mendesakkan-keinginan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke