JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari mengatakan, dia tidak pernah berniat mengelabui masyarakat ketika menyampaikan perubahan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang mengancam keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2024.
"Secara pribadi saya ingin menyampaikan bahwa saya tidak pernah punya niat untuk berbohong kepada publik ketika menyampaikan rencana untuk perubahan itu," kata Hasyim dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) untuk perkara nomor 110-PKE-DKPP/IX/2023 di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, Jakarta, Jumat (22/9/2023).
Hasyim mengatakan, KPU sudah mencoba menjawab secara tertulis pengaduan terkait itu, dan dilengkapi dengan alat-alat bukti yang mendukung argumentasi terhadap pokok-pokok aduan para pengadu.
Menurut Hasyim, dalam persidangan ada beberapa hal yang akan direspons pada bagian akhir dalam catatan kesimpulan.
"Dan dalam kesimpulan itu bila ada hal-hal yang kami pandang perlu untuk mengajukan alat bukti, kami akan sertakan alat bukti baru untuk merespons para pengadu di dalam persidangan," ujar Hasyim.
Hasyim juga menyampaikan, KPU akan terus berupaya merespons secara fisik dan gagasan pengadu terkait hal itu. Selain itu, kata dia, KPU sudah mencoba merumuskan dan secara prosedural menyampaikan permintaan untuk berkonsultasi.
Dalam sidang itu para pengadu yang hadir yakni sejumlah aktivis gender dan kepemiluan Mikewati Vera Tangka, Listyowati, Mistohizzaman, Wirdyaningsih, dan Hadar Nafis Gumay.
Hasyim juga tidak mengikuti persidangan sampai selesai karena memiliki agenda lain, dan dilanjutkan oleh para komisioner lain KPU.
"Nasib saya dan putusan kami serahkan pada majelis," ucap Hasyim.
Hasyim serta para anggotanya dinilai melanggar prinsip mandiri dalam menyusun regulasi dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (PKPU 10/2023).
Selain itu, perubahan tersebut dinilai bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), khususnya pengaturan daftar bakal calon legislatif pada setiap daerah pemilihan yang memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.
Apabila terjadi pertentangan norma antara PKPU dengan UU Pemilu dan tidak diberikan sanksi kepada Teradu dan atau Terlapor 1 sampai dengan 7 oleh DKPP, maka akan membuat proses pencalonan anggota legislatif menjadi cacat hukum dan bertentangan dengan UU Pemilu.
Hal itu juga dianggap menyalahi prinsip dan asas penyelenggaraan Pemilu yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
PKPU yang dibuat oleh Hasyim Asy'ari dan para komisioner KPU dinilai bukan hanya melanggar norma dalam UU Pemilu, tetapi juga inkonstitusional.
Sebab hal itu dianggap bertentangan dengan substansi pasal 28 h ayat 2 UUD NRI 1945, yang memberikan jaminan tindakan khusus dalam rangka mewujudkan keterwakilan perempuan yang adil dan setara.
Perbuatan Hasyim serta para komisioner KPU berdampak terhadap pencalonan perempuan di ribuan daerah pemilihan yang tersebar di 38 provinsi.
Hal tersebut juga dinilai melanggar prinsip adil sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat 2 huruf c juncto pasal 10 huruf a, huruf b, dan huruf c peraturan DKPP nomor 2 tahun 2017 tentang kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilihan umum.
https://nasional.kompas.com/read/2023/09/22/19440111/ketua-kpu-sebut-tak-punya-niat-bohongi-publik-soal-aturan-keterwakilan