Salin Artikel

Pengembaraan Demokrat Mencari Koalisi Baru, ke Mana Bakal Berlabuh?

JAKARTA, KOMPAS.com - Posisi Partai Demokrat usai hengkang dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) bak pengembara.

Partai besutan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu harus menetapkan langkah ke mana akan memberikan dukungan, setelah merasa dikhianati oleh manuver Partai Nasdem dan bakal calon presiden Anies Baswedan.

Demokrat menilai manuver Nasdem yang memasangkan Anies dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai sikap tidak menghormati piagam kerja sama KPP.

Selain itu, Demokrat mengeklaim Anies sudah berjanji akan menggandeng AHY sebagai bakal cawapres. Alhasil Demokrat memutuskan mencabut dukungan dari Anies dan keluar dari KPP.

Dari sisi perolehan suara, saat ini Partai Demokrat memang mengalami penurunan. Pemilu 2009 bisa dibilang sebagai masa kejayaan partai berlambang bintang Mercy itu.

Pada Pemilu 2009, Demokrat meraih 21,66 juta suara, atau 20,81 persen dari total suara sah nasional.

Akan tetapi, perolehan suara Demokrat menurun drastis pada Pemilu 2014 yang hanya mencapai 10,19 persen.

Dalam Pemilu 2019 perolehan suara Demokrat juga menurun. Yakni hanya 7,77 persen dari total suara sah nasional. Demokrat juga memperoleh 9,39 persen kursi di DPR.

Jika Demokrat enggan kembali ke KPP, maka poros yang tersisa saat ini adalah Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung bakal capres Prabowo Subianto dan koalisi pengusung bakal capres Ganjar Pranowo.

Parpol yang mengusung Prabowo sebagai bakal capres yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), serta 2 parpol nonparlemen yaitu Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Gelora.

Sedangkan koalisi partai pengusung bakal capres Ganjar terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta Partai Hanura dan Partai Perindo (nonparlemen).

Seiring berjalannya waktu, Demokrat mesti menentukan sikap bakal merapat ke poros mana setelah keluar dari KPP. Tentu saja di semua poros yang ada mereka harus menanggung konsekuensinya.

“Yang paling penting kita juga bertanya pada PDI-P, Ganjar, atau Gerindra, Prabowo apakah mereka akan menerima kita, Demokrat?” kata Kepala Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Andi Arief dalam keterangannya, Kamis (7/9/2023).

Sebelumnya dilaporkan, PDI-P menyatakan membuka diri untuk mempertemukan ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri, dengan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sementara, Gerindra juga nampak memberi sinyal kepada Demokrat dengan menyatakan Prabowo Subianto dan AHY punya kecocokan.

Beberapa waktu belakangan, sejumlah elite Demokrat nampak menunjukan kecenderungan ingin menjajaki kerja sama politik dengan PDI-P.

"Menimbang ada kisah masa lalu yang belum tuntas antara Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri, dengan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)," kata Agung dalam keterangannya seperti dikutip pada Jumat (8/9/2023).

Hubungan Mega dan SBY tidak harmonis akibat persaingan politik dalam Pilpres 2004 dan 2009. SBY yang sempat berada dalam kabinet memutuskan maju sebagai capres dan bersaing dengan Mega.

Pasangan Mega-Hasyim Muzadi kalah dari SBY-Jusuf Kalla pada Pilpres 2004.

Mega kembali mencoba bersaing dengan SBY pada Pilpres 2009. Akan tetapi, Mega yang berpasangan dengan Prabowo Subianto kalah dari SBY-Boediono.

Meski hubungan SBY dan Mega tidak harmonis, tetapi menurut Agung jika dilihat dari konteks politik saat ini maka peluang koalisi antara Demokrat dan PDI-P masih mungkin terjadi.

"Ada konteks politis yang bisa dijadikan dasar untuk mengubah peta politik sekaligus narasi di publik, bahwa saat PDI-P dan Demokrat bersama terwujud rekonsiliasi nasional yang diharapkan bisa merekatkan kohesi sosial di antara sesama anak bangsa," ujar Agung.

"Di titik inilah, kemungkinan konteks historis dan konteks politis ini dijadikan basis keputusan bagi Demokrat dan PDI-P mengemuka," sambung Agung.

Di sisi lain, Agung melihat posisi Demokrat saat ini sangat tidak menguntungkan baik dari segi citra politik, modal persentase suara, serta ketokohan.

Apalagi 2 poros selain Koalisi Perubahan mempunyai agenda melanjutkan pembangunan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Alhasil Demokrat yang selama ini bersikap sebagai oposisi kemungkinan harus meninggalkan gaya itu jika ingin merapat ke KIM atau PDI-P.

Selain itu, kata Agung, jika Demokrat merapat ke KIM atau PDI-P maka secara otomatis peluang AHY menjadi bakal cawapres mengecil, atau bahkan nihil.

"Karena Demokrat hanya sebagai 'partai pelengkap' setelah PDI-P memastikan ambang batas presiden (presidential threshold) sebagaimana KIM. Dengam demikian, juga muncul pertanyaan fundamental, apakah Demokrat bersedia berkoalisi seandainya AHY belum bisa menjadi cawapres?" ucap Agung.

(Penulis : Tatang Guritno | Editor : Dani Prabowo)

https://nasional.kompas.com/read/2023/09/08/11402841/pengembaraan-demokrat-mencari-koalisi-baru-ke-mana-bakal-berlabuh

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke