Aturan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Melalui aturan baru, skripsi, tesis, maupun disertasi tidak lagi wajib. Mahasiswa melalui kebijakan perguruan tinggi masing-masing, bisa mengambil syarat kelulusan yang lain selain skripsi, dalam bentuk project base, prototype, dan sebagainya.
Sejatinya, memberikan kewenangan dan pilihan pada kamu terkait kewajiban skripsi bukanlah barang baru.
Plt Direktur Jenderal Perguruan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nizam mengatakan, beberapa kampus sebetulnya sudah mulai memberikan pilihan kepada mahasiswanya untuk mengambil skripsi, atau tugas lain.
Penerbitan aturan baru bertujuan untuk memberikan payung hukum kepada seluruh perguruan tinggi di Indonesia yang telah diberi kemerdekaan untuk memilih, sesuai dengan keputusan dan kesiapan kampus serta mahasiswanya.
"Dengan adanya Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, maka skema ragam bentuk tugas akhir yang selama ini mungkin sudah dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi menjadi ada payung hukumnya," kata Nizam saat dihubungi Kompas.com, Kamis (31/8/2023).
Bukan berarti hapus tugas akhir
Mendikbudristek Nadiem Makarim menyampaikan, aturan bukan berarti menghapus kewajiban skripsi, tesis, atau disertasi bagi mahasiswa.
Hal ini Nadiem klarifikasi dalam Rapat bersama Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (30/8/2023).
Seperti yang disampaikan, Nadiem hanya memberi keleluasaan kepada kampus dan mahasiswa untuk memilih syarat kelulusan.
Dengan begitu, skripsi, tesis, maupun disertasi, yang selama ini menjadi syarat kelulusan selama bertahun-tahun, tidak lagi menjadi satu-satunya yang bisa dipilih.
"Jangan nanti ada headline di media, 'Mas Menteri menghilangkan skripsi', 'Mas Menteri menghilangkan, tidak boleh mencetak di jurnal'. Tidak," kata Nadiem dalam rapat tersebut.
Terserah kampus
Nadiem berujar, pemerintah hanya memindahkan hak ke masing-masing kampus.
Dengan kata lain, pihaknya memberi kemerdekaan kepada kampus, fakultas, jurusan, hingga prodi, untuk merancang sendiri syarat kelulusan bagi mahasiswa.
Kalau kampus masih beranggapan bahwa skripsi diperlukan sebagai syarat lulus, maka itu adalah hak mereka.
"Dan yang untuk S-2 dan S-3 masih harus tugas akhir tapi bisa kepala prodinya menentukan bahwa tugas akhirnya dalam bentuk yang lain bukan tesis, project. Jadi jangan keburu senang dulu, hahaha. Tolong dikaji dulu. Itu masing-masing perguruan tinggi haknya," kata Nadiem di kesempatan yang sama.
Ia mengaku mengacu pada praktik baik di negara lain. Beberapa negara di dunia sudah menerapkan hal serupa, yaitu kebijakan kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada perguruan tinggi.
"Bagaimana nanti menurunkan kualitas doktoral kita? Tidak sama sekali. Di negara-negara termaju dengan riset yang terhebat di dunia itu, keputusan perguruan tinggi, bukan keputusannya pemerintah. Jadi saya cuma mau menekankan bagi yang mengkritik ini merendahkan kualitas, itu tidak benar," ungkap Nadiem.
Senada, Nizam menyatakan, beleid ini menekankan pada kompetensi lulusan.
Perguruan tinggi, kata Nizam, harus menunjukkan ketercapaian kompetensi tersebut melalui tugas akhir.
"Bentuk tugas akhirnya tentunya disesuaikan dengan karakter prodi masing-masing, apa yang paling tepat," tandas Nizam.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/31/17381921/skripsi-tak-lagi-wajib-kampus-bebas-tentukan-syarat-lulus