Salin Artikel

Sembilan Persoalan Pekerja Migran yang Perlu Segera Dibenahi

Untuk membedah persoalan PMI membutuhkan pemahaman dan pengalaman khusus untuk bisa menemukan substansi permasalahannya dan membangun sistem tata kelolanya.

Di dunia ketenagakerjaan migran, setiap negara tujuan penempatan PMI memiliki pola perilaku dan keunikan tersendiri. Aturan keimigrasian dan undang-undang ketenagakerjaan berbeda di setiap negara.

Setiap negara juga memiliki budaya kerja dan adat istiadat berbeda yang memengaruhi kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan.

Maka dalam membangun tata kelola penempatan dan pelindungan PMI tidak bisa didesain secara general (umum). Butuh metodologi dan pendekatan spesifik, baik untuk merebut peluang kerja ataupun penanganan persoalan terhadap PM yang tertimpa masalah di negara penempatan.

Ada dua persoalan PMI yang tidak terselesaikan sampai sekarang.

Pertama, banyaknya PMI berangkat secara unprosedural atau ilegal. Data BP2MI, jumlah PMI yang berangkat legal atau terdaftar secara resmi di pemerintahan Indonesia hanya 3,7 juta orang.

Sementara data Bank Dunia, jumlah PMI yang berada di seluruh dunia lebih dari 9 juta orang. Sekitar 55 persen PMI bekerja secara ilegal di negara lain.

PMI dinyatakan ilegal di negara penempatan karena masuk tanpa menggunakan visa kerja, pindah majikan, dan overstay.

Ada hal unik tentang legalitas di negara penempatan. Meski pemerintah Indonesia menyatakan keberangkatan PMI ilegal, tetapi bisa legal menurut negara penempatan. Sebaliknya, legal di Indonesia, bisa menjadi ilegal di negara penempatan.

Kedua, permasalahan PMI menyangkut kasus menimpa PMI. Permasalahan ini terjadi saat prapenempatan, saat bekerja maupun setelah habis kontrak kerja. Permasalahan ini tidak hanya terjadi pada PMI ilegal, tapi juga terjadi pada PMI legal/resmi.

Biasanya kasus yang dialami PMI adalah kasus ketenagakerjaan buruk, tindak kriminalitas (penganiayaan/kekerasan) dilakukan majikan, dan kasus keimigrasian.

Ada juga kasus PMI tersandung tindak pidana seperti mengonsumsi narkoba, perkelahian, pencurian bahkan sampai pembunuhan pada majikan.

Contoh kasus yang terjadi pada PMI saat prapenempatan antara lain: beban biaya terlalu tinggi (overcharging), keberangkatan terlalu lama, diberangkatkan secara nonprosedural, pemalsuan dokumen, dan kasus gagal berangkat.

Sementara, contoh kasus PMI saat bekerja di negara penempatan antara lain: gaji tidak dibayar penuh oleh majikan, pemotongan gaji di luar kesepakatan, jam kerja tidak wajar, beban kerja terlalu berat, pekerjaan tidak sesuai kontrak kerja, pemutusan hubungan kerja, penahanan dokumen PMI, tidak ada libur dan cuti, pengekangan atau putus komunikasi, kecelakaan kerja, sakit, serta tindak kekerasan/penganiayaan dilakukan majikan.

Sedangkan contoh kasus PMI pascabekerja antara lain: tiket pulang tidak dibelikan majikan, asuransi tidak keluar, bonus dan sebagainya.

Banyak PMI setelah selesai kontrak kerja tidak mendapat kesejahteraan atau tidak bisa mengumpulkan dana untuk mengembangkan usaha di Indonesia.

PMI ilegal paling riskan jika terjadi kasus-kasus tersebut. Selain kasus ketenagakerjaan yang buruk dan eksploitasi, juga berpotensi tersandung kasus keimigrasian di negara penempatan.

Mereka bisa mengalami penangkapan oleh keimigrasian negara setempat dan cenderung mengalami penahanan yang tidak manusiawi.

Banyaknya PMI ilegal dan bermasalah menunjukkan ada ketidakbenaran dalam tata kelola yang dibangun selama ini. Ada sistem tidak sinkron antara pemerintah dengan behavior pasar kerja.

Permasalahan dunia ketenagakerjaan migran tersebut menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat. Migrant Watch bersama mahasiswa dan Serikat Peduli Pekerja Migran Indonesia (SPPMI-PP) melakukan aksi demontrasi selama 4 hari bertajuk "4 Hari Aksi Menggugah Hati Jokowi untuk Save PMI" (31 Juli - 3 Agustus 2023).

Aksi tersebut mendapat respons dari Presiden Jokowi. Pada Rabu (2/8/2023), Presiden Jokowi melakukan Rapat Koordinasi (Ratas) dengan para menterinya membahas Perbaikan Tata Kelola Penempatan PMI.

Dari Ratas tersebut, Presiden Jokowi memberi arahan untuk dilakukan perbaikan tata kelola dari hulu sampai ke hilir dan mempermudah proses penempatan.

Presiden memerintahkan untuk melakukan evaluasi regulasi pada dua peraturan pemerintah, tiga peraturan presiden, lima peraturan menteri tenaga kerja, dan tiga peraturan kepala BP2MI.

Presiden juga memerintahkan revisi pada Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) agar terjadinya optimalisasi penempatan dan tidak ada yang dirugikan.

Presiden Jokowi menargetkan dua minggu kepada Menko Perekonomian Airlangga Hartarto untuk melakukan perbaikan tata kelola penempatan PMI, terhitung sejak Ratas ke- 1. Berarti, hasilnya akan diumumkan sekitar pertengahan Agustus 2023.

Namun para aktivis pekerja migran Indonesia tidak puas atas respons Presiden tersebut. Dalam aksi pada Kamis (3/8/2023), mereka menyatakan mosi tidak percaya atas kemampuan Kemenko Perekonomian dan lembaga pemerintah lainnya untuk melahirkan tata kelola penempatan dan perlindungan PMI yang optimal.

Pemerintah dalam melakukan review tata kelola PMI tidak mengajak pihak nonpemerintahan untuk memberi masukan. Hal itu dinilai bentuk kearogansian penguasa dan merasa paling tahu atas permasalahan di dunia ketenagakerjaan migran.

Hal ini juga menimbulkan kecurigaan publik ada kemungkinan "main mata versi baru". Tata kelola baru yang dilahirkan bisa menjadi bancakan dari pemain baru. Ini bak keluar dari lubang macan, tapi masuk ke lubang buaya.

Kecurigaan ini wajar, karena 2023 sudah tahun politik. Tata kelola ulang penempatan PMI bisa berpotensi dijadikan bancakan dari pemain baru untuk mendapatkan logistik pemilu 2024.

Titik krusial permasalahan PMI

Substansi dari dunia ketenagakerjaan migran secara garis besar adalah penempatan dan pelindungan.

Penempatan adalah upaya mendapatkan lapangan pekerjaan dari negara luar atau pasar kerja global untuk menyalurkan peminat dan pencari kerja luar negeri. Setelah terjalinnya supply-demand, kemudian berlangsung proses penempatan PMI ke negara tujuan.

Pada sistem sekarang, proses penempatan PMI meliputi perjanjian kerjasama, perekrutan, surat izin dari keluarga, penandatanganan kontrak kerja, pengurusan ID PMI, surat keterangan dari kepolisian, pemeriksaan kesehatan awal, paspor, pelatihan dan sertifikasi kompetensi, pengurusan visa, BPJS, Orientasi Pra Pemberangkatan, dan pemberangkatan ke negara tujuan

Sedangkan, pelindungan adalah upaya melindungi kepentingan PMI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-hak kerjanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, saat, maupun sesudah bekerja.

Pelindungan dibutuhkan ketika PMI tersandung masalah di negara orang, baik berlaku pada PMI legal maupun ilegal.

Persoalan PMI terjadi seperti air keran mampet dan kotor. Kecilnya air keluar dari keran karena terjadi beberapa penghalang/sumbatan, sehingga air tidak mengalir lancar sepanjang pipa.

Adanya air kotor keluar dari keran, karena ada kebocoran pada pipa sehingga benda asing masuk ke pipa.

Begitu juga di dunia ketenagakerjaan migran Indonesia. Tidak produktifnya penempatan PMI karena adanya hambatan dan sumbatan dalam proses penempatan.

Banyaknya PMI ilegal dan bermasalah karena adanya kesalahan tata kelola dalam membangun pelindungan.

Ada sembilan titik krusial terjadinya PMI ilegal dan bermasalah yang mesti dibenahi dan diperbaiki, yaitu :

Pertama, mindset sesat. Pergantian Undang-undang PMI dari UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menjadi Undang-undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia terjadi distorsi atas hak orang bekerja ke luar negeri.

Dulu ada dua kata kunci, yaitu "penempatan" dan "perlindungan". Pada undang-undang sekarang dikenal 1 kata kunci, yaitu "pelindungan".

Kata "pelindungan" tersebut cenderung ditafsirkan bahwa tugas pokok pemerintah adalah melakukan pelindungan dan tidak lagi berorientasi penempatan. Dari pemahaman tersebut, pemerintah kemudian membuat aturan yang ketat dan ideal dalam menempatkan PMI.

Ketika PMI berproses untuk bisa berangkat secara legal tak luput dari proses berbelit-belit, kaku dan bahkan intimidatif. Pemerintah memandang dunia ketenagakerjaan migran penuh kejahatan terhadap eksploitasi manusia.

Pemerintah secara berlebihan melakukan intervensi pada pasar kerja global di tengah negara belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan buat warga negara dan menjamin upah yang mensejahterakan pekerja.

Sebenarnya substansi kata "pelindungan" di dalam UU 18/2017 adalah pelindungan terhadap ekosistem ketenagakerjaan migran Indonesia agar berjalan harmonis dan produktif. Agar tidak terjadi saling kanibal dan merugikan semua pihak.

Bukan mengunakan alasan pelindungan untuk memperketat penempatan PMI dengan membuat aturan yang tidak akomodatif terhadap pasar kerja global.

Adanya mindset sesat demikian, penempatan PMI bukanlah lagi jadi roh yang menggairahkan dunia ketenagakerjaan migran Indonesia.

Dampak pandangan keliru ini akhirnya penempatan PMI lesu dan tidak bergerak optimal merebut pasar kerja global sebagai pembuka lapangan pekerjaan buat masyarakat.

Kedua, moratorium. Pada prinsipnya tidak ada hak pemerintah untuk melakukan moratorium atau pelarangan atas hak PMI bekerja ke luar negeri.

Hak orang bekerja (baik di dalam negeri maupun di luar negeri) adalah hak asasi yang melekat pada diri manusia. Tidak boleh ada satupun yang menghambat dan mempersulitnya.

Maka ketika negara Indonesia ini dibentuk, mencatumkan jaminan atas kemerdekaan hak warga negara bekerja di dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945 pada pasal 27 ayat 2.

Namun pada perjalanannya, semasa pemerintahan Jokowi berkuasa terjadi pengekangan atau intervensi berlebihan kepada hak Warga Negara Indonesia yang hendak bekerja ke luar negeri.

Produk kebijakan pelarangan warga bekerja ke luar negeri baru terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. Semasa pemerintahan SBY hanya melakukan moratorium sementara untuk tujuan pembenahan.

Pelarangan itu berupa keluarnya Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah.

Meskipun, PMI berangkat mengunakan syarikah (perusahaan) dan bervisa pekerja cleaning service, tetapi tetap dilarang dan pemerintah tidak membuka pelayanan untuk berproses secara legal/resmi ke negara Arab Saudi.

Dalam UU No. 18 Tahun 2017 pada pasal 32, pemerintah pusat hanya dapat menghentikan dan atau melakukan pelarangan penempatan PMI untuk negara tertentu atau jabatan tertentu di luar negeri atas pertimbangan keamanan, pelindungan hak asasi manusia, pemerataan kesempatan kerja dan kepentingan ketersediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan nasional.

Alasan keamanan tidak bisa ditafsirkan pemerintah dengan mengacu permasalahan yang menimpa PMI. Pasalnya, kasus yang terjadi bisa karena kesalahan sistem atau perbuatan oknum yang bukan terjadi secara meluas menimpa PMI.

Melarang penempatan PMI boleh diberlakukan atas alasan keamanan jika terjadi kekacauan politik di negara penempatan, peperangan atau wabah penyakit.

Sedangkan mengenai persoalan pemerataan kesempatan kerja dan kepentingan ketersediaan tenaga kerja adalah hal yang mustahil terjadi di Indonesia pada kondisi sekarang ini karena besarnya populasi penduduk.

Kepmenaker No 260 Tahun 2015 yang diberlakukan pemerintah tersebut berakibat fatal bagi PMI. Keputusan tersebut menimbulkan banyaknya penempatan PMI ilegal. PMI yang ingin mencari nafkah, akhirnya menempuh cara ilegal untuk mengubah hidupnya.

Pelarangan dan penghambatan PMI bekerja ke luar negeri bukan saja lewat moratorium. Dirjen Binapenta Kemnaker sering melakukan intervensi pada hak rakyat bekerja dengan menerbitkan surat keputusan daftar negara penempatan yang dibuka oleh pemerintah dan ketentuan skema penempatan. Banyak lagi peraturan dari Menaker lainnya yang menghambat hak rakyat bekerja.

Ketiga, monopoli SPSK. Monopoli adalah praktik kebejatan dalam bernegara. Monopoli merupakan benalu merusak terbentuknya pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Praktik monopoli akan menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan melemahkan pelindungan pekerja migran Indonesia.

Regulasi yang dibuat pemerintah seharusnya untuk kepentingan umum secara adil. Namun, kebijakan yang dibuat cenderung berpihak kepada seseorang atau sekelompok orang.

Kekuasaan dijadikan cara culas untuk mendapat keuntungan dengan membuat kebijakan merusak tatanan bernegara yang baik.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 291 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di Kerajaan Arab Saudi melalui Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) sangat terang benderang diperuntukkan satu asosiasi bernama Apjati.

Asosiasi ini dengan leluasa mengatur dan mengendalikan penempatan PMI ke Arab Saudi.

Penguasaan penempatan SPSK oleh Apjati menimbulkan diskriminasi ke Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang memiliki hak yang sama untuk bisa ikut terlibat dalam penempatan PMI lebih kompetitif.

Sementara sejak 2018 sampai sekarang, Apjati tidak produktif dalam penempatan PMI ke Arab Saudi. Tercatat hanya 33 orang PMI yang ditempatkan selama kurun 6 tahun. Sementara potensi pasar kerja bisa mencapai 150.000 orang per tahun.

Keempat, kebijakan zero cost. Peraturan BP2MI No. 09 Tahun 202O tentang pembebasan biaya penempatan yang diberlakukan Kepala BP2MI pada 10 sektor jabatan merupakan kebijakan yang menghambat kesempatan rakyat kecil bekerja ke luar negeri.

Aturan tersebut berlaku bagi pekerja rumah tangga (PRT), perawat tua jompo, pengasuh anak/bayi, juru masak, supir keluarga, perawat taman, petugas kebersihan, pekerja peladangan/perkebunan, dan awak kapal perikanan migran.

Pasar kerja global memiliki dinamika sendiri yang tidak boleh diintervensi oleh pemerintah. Menekan pasar kerja untuk menanggung semua komponen biaya penempatan dan jati diri PMI akan membuat pasar kerja mencari sumber daya manusia ke negara lain.

Pembebanan semua komponen biaya ke majikan, mulai dari biaya jati diri sampai biaya penempatan merupakan intervensi berlebihan dan merugikan kedua belah pihak.

Kerugian dari majikan seperti membeli kucing dalam karung. Apalagi banyak kasus PMI kabur atau pindah majikan ketika baru bekerja 2-6 bulan. Sementara majikan sudah mengeluarkan semua biaya penempatan dan jati diri.

Dampak lain dari kebijakan zero cost adalah potensi terjadinya eksploitasi pada PMI. Majikan merasa sudah "membeli PMI", maka bisa semena-mena memperlakukan PMI tersebut.

Beban biaya jati diri sebaiknya ditanggung oleh PMI seperti biaya pelatihan, pembuatan paspor, medical check up awal, BPJS, dan berbagai pengurusan dokumen lainnya di dalam negeri.

Sementara biaya-biaya penempatan seperti tiket pesawat pulang-pergi, medical check up ulang, visa, asuransi dan lainya dinegosiasikan dengan majikan.

Dengan demikian, PMI berangkat penuh harga diri dan terhormat. Bukan berangkat bekerja ke luar negeri seperti perdagangan budak.

BP2MI telah menafsirkan secara serampangan Pasal 30 UU No. 18 Tahun 2017 yang mengatur PMI tidak boleh dikenakan biaya Penempatan. Biaya penempatan tidak sama dengan biaya jati diri PMI.

Tentang tugas pemerintah daerah yang diatur dalam pasal 40 untuk melakukan pelatihan pada PMI, tidak bisa dimaknakan pembiayaanya ditanggung oleh majikan atau Pemda setempat.

Kompetensi PMI merupakan jati diri yang melekat pada diri PMI. Ini bukan kategori komponen biaya penempatan sebagaimana ditentukan dalam Peraturan BP2MI No. O9 Tahun 2020 tersebut.

Kebijakan zero cost ini banyak menimbulkan kekacauan dalam dunia penempatan. Kepastian hukum di negara penempatan yang masih lemah, sehingga menimbulkan salah paham antara majikan dengan PMI.

Kelima, proses pelayanan rumit. Salah satu persoalan besar di dalam dunia ketenagakerjaan migran adalah proses yang rumit, berbelit-belit, memakan waktu panjang serta terjadinya biaya tinggi.

Seorang PMI yang hendak bekerja ke luar negeri harus melewati banyak meja. Mereka tidak cukup datang sekali, tetapi bisa datang berulang kali sehingga memakan biaya tinggi.

Misalnya, saat mengurus ID PMI, meski melalui online, tapi pada kenyataannya tetap juga dilakukan secara manual.

Sementara proses persetujuan memakan waktu 1-2 minggu. Alasan yang kerap disampaikan pejabat terkait adalah sedang tugas di luar kota atau sibuk rapat.

Ketentuan pembuatan ID PMI mesti didampingi petugas P3MI. Jadi masalah ketika P3MI tidak memiliki cabang di daerah asal PMI.

Masalah lain saat proses medical check up (MCU). PMI harus datang hingga dua kali. Setelah MCU, PMI mesti datang lagi melakukan sidik jari online. Itu pun harus dilakukan setelah disetujui ID Online.

Lalu, saat mengajukan OPP (Orientasi Pra Pemberangkatan) ke BP2MI, PMI mesti membawa dokumen lagi dan menunggu persetujuan hingga jadwal.

Banyak proses lain yang membuat PMI dipersulit. Sistem pelayanan tidak praktis dan memakan waktu lama dan biaya tinggi.

Sebenarnya, pelayanan ini bisa dibuat sederhana dan dilakukan secara online yang terintegrasi tanpa perlu berulang-ulang melakukan pemberkasan dan verifikasi. Digitalisasi harus benar-benar online.

Keenam, akses pembiayaan. Pembiayaan merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindari untuk bisa bekerja luar negeri. Terutama untuk komponen biaya jati diri seperti biaya pelatihan dan sertifikat kompetensi, pengurusan paspor, MCU awal, pengurusan dokumen, dan lainnya.

Pembiayaan juga dibutuhkan untuk biaya transportasi hilir mudik dan biaya makan sehari-hari selama proses sebelum bekerja. PMI kadang membutuhkan uang buat keluarga yang ditinggalkan (bagi yang berkeluarga) dan bekal dia berangkat ke negara penempatan.

Tidak semua majikan mau menanggung semua komponen biaya penempatan seperti tiket pesawat, visa, BPJS, jasa penyalur serta MCU ulang, dan asuransi di negara penempatan. Ada majikan yang bersedia menanggung sebagian dan ada tidak ada sama sekali. Apalagi untuk PMI sektor formal dan program G to G.

Untuk itu, PMI butuh akses pembiayaan yang mudah dan bersuku bunga rendah. Akses pembiayaan PMI sebenarnya menjadi tugas utama pemerintah sebagai bentuk kehadiran negara.

Pemerintah bisa membuat program subsidi dan memastikan tersedia di semua perbankan plat merah.

Namun ironisnya, BP2MI membuat aturan pembiayaan hanya melalui Kredit Tanpa Agunan (KTA) BNI. Sementara tidak semua PMI bisa mengajukan KTA kepada BNI.

Ketujuh, overcharging dan bancakan. Overcharging adalah pembebanan biaya tinggi kepada PMI di luar kesepakatan antara PMI dengan majikan. Praktik ini termasuk permasalahan krusial yang dilakukan oleh P3MI

Ada praktik pembebanan biaya ke PMI yang sudah ditanggung oleh majikan. Ada juga praktik menggelembungkan biaya.

Selain P3MI, asosiasi dan organisasi dalam negeri dan di negara penempatan juga ikut melakukan overcharging terhadap PMI. Biasanya mereka melakukan bancakan lewat sistem setiap proses penempatan PMI.

Kasus yang terlihat saat penempatan PMI ke Malaysia. Setiap tahapan proses penempatan "dibajak" untuk mendapat cuan melalui sistem.

Seperti pengurusan visa melalui agensi VIMA (Visa Malaysia Agency). Sebelumnya biaya berkisar RM15 atau setara Rp 53.000 melalui kedutaan Malaysia. Sekarang melalui VIMA menjadi Rp 1.115.600.

Sementara MoU yang disepakati kedua negara dinyatakan bahwa biaya-biaya yang ditimbulkan dalam kerja sama ketenagakerjaaan migran Indonesia-Malaysia akan menjadi beban pihak employer dan dibayar penuh di wilayah hukum Malaysia. Namun faktanya dipunggut di Indonesia dan dibebankan kepada PMI.

Masih banyak praktik overcharging dan bancakan lainnya yang menghisap darah PMI. Pemerintah harus hadir memberantas praktik tersebut.

Kedelapan, renew. Renew adalah praktik perpanjangan kontrak kerja PMI secara sepihak oleh agensi negara penempatan tanpa melibatkan P3MI di Indonesia.

Ketika tiga tahun habis masa kontrak kerja PMI, sang majikan bersama agensi setempat melakukan perpanjangan kontrak kembali.

Biasanya praktik renew melebihi dua kali kontrak kerja. Dampak renew menyebabkan hilangnya data PMI dari sistem komputer Indonesia karena tidak terdata lagi sebagai PMI. Ketika PMI tersebut ada masalah, pemerintah mengalami kesulitan melakukan penanganan.

Praktik renew juga sangat berdampak buruk kepada keluarga PMI. Bekerja sampai 6 - 15 tahun berpotensi terjadi penceraian pasangan suami istri.

Selain itu, dalam praktik renew acap terjadi perselingkuhan yang dilakukan oleh PMI. Anak yang ditinggalkan tidak terurus dengan baik.

Praktik renew juga merugikan dalam pemasukan devisa dan perputaran uang. Renew merusak siklus penempatan PMI. Peluang kerja pada PMI lain jadi berkurang.

Pemerintah harus tegas membuat peraturan tentang renew tersebut. Menindak tegas agensi negara penempatan dengan memberikan sanksi administrasi tidak bisa lagi melakukan kerjasama dengan P3MI.

Kesembilan, penanganan kasus PMI bermasalah. Kasus menimpa PMI di negara penempatan menjadi gambaran hitam dalam dunia penempatan. Kasus ini seperti gunung es, di permukaan terlihat sedikit, tetapi di bawah terhampar luas dan dalam.

Kasus PMI paling banyak menimpa pada PMI ilegal. Kasus yang banyak terjadi adalah jam kerja panjang, gaji tidak layak, pekerjaan berat di luar kontrak, penahanan dokumen, putus komunikasi serta praktik pengekangan, penyekapan, dan berbagai bentuk pelecehan seksual, kekerasan dan penganiayaan.

Permasalahan PMI ilegal tersandung permasalahan keimigrasian. Tak hayal PMI menjadi lemah dan tidak mendapat pelindungan hukum.

Pemerintah harus melakukan penanganan khusus atas kasus-kasus seperti ini dengan melibatkan unsur pihak nonpemerintah.

Dengan sistem teknologi informasi sangat bisa dilakukan penanganan cepat dan melakukan pemantauan secara real time atas kondisi PMI di tempat kerja.

Demikian sembilan titik krusial yang mesti diselesaikan pemerintah. Membangun sistem ketenagakerjaan migran Indonesia yang lebih mudah, cepat, praktis, terlindungi serta canggih.

Indonesia memiliki kepentingan besar untuk mengerakan bonus demografi agar produktif. Upaya optimalisasi merebut peluang kerja global menjadi solusi yang tepat.

https://nasional.kompas.com/read/2023/08/19/10573571/sembilan-persoalan-pekerja-migran-yang-perlu-segera-dibenahi

Terkini Lainnya

PAN Lempar Kode Minta Jatah Menteri Lebih ke Prabowo, Siapkan Eko Patrio hingga Yandri Susanto

PAN Lempar Kode Minta Jatah Menteri Lebih ke Prabowo, Siapkan Eko Patrio hingga Yandri Susanto

Nasional
Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya

Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya

Nasional
Membedah Usulan Penambahan Kementerian dari Kajian APTHN-HAN, Ada 2 Opsi

Membedah Usulan Penambahan Kementerian dari Kajian APTHN-HAN, Ada 2 Opsi

Nasional
Zulhas: Indonesia Negara Besar, Kalau Perlu Kementerian Diperbanyak

Zulhas: Indonesia Negara Besar, Kalau Perlu Kementerian Diperbanyak

Nasional
Menag Cek Kesiapan Hotel dan Dapur Jemaah Haji di Madinah

Menag Cek Kesiapan Hotel dan Dapur Jemaah Haji di Madinah

Nasional
Usung Bima Arya atau Desy Ratnasari di Pilkada Jabar, PAN Yakin Ridwan Kamil Maju di Jakarta

Usung Bima Arya atau Desy Ratnasari di Pilkada Jabar, PAN Yakin Ridwan Kamil Maju di Jakarta

Nasional
[POPULER NASIONAL] Mahfud Singgung soal Kolusi Tanggapi Ide Penambahan Kementerian | Ganjar Disarankan Buat Ormas

[POPULER NASIONAL] Mahfud Singgung soal Kolusi Tanggapi Ide Penambahan Kementerian | Ganjar Disarankan Buat Ormas

Nasional
Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Nasional
Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Nasional
Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Nasional
Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Nasional
PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

Nasional
KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

Nasional
Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Nasional
Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke