"Pemilihan presiden secara langsung yang kita adopsi begitu saja, telah terbukti melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa," kata La Nyalla dalam Sidang Bersama DPR dan DPD di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
La Nyalla beralasan, batu uji yang digunakan untuk mencari pemimpin lewat pemilihan langsung adalah popularitas yang bisa difabrikasi.
La Nyalla juga menuding elektabilitas yang dimiliki para kandidat dapat digiring melalui angka-angka lalu disebaluaskan oleh para pendengung atau buzzer.
"Disebarluaskan oleh para buzzer di media sosial dengan narasi-narasi saling hujat atau puja-puji buta. Dan pada akhirnya, rakyat pemilih disodori oleh realita yang dibentuk sedemikian rupa," ujar dia.
Menurut La Nyalla, Indonesia punya pekerjaan yang lebih besar, penting, dan mendesak, daripada disibukkan oleh hiruk pikuk dan biaya mahal demokrasi ala barat.
"Mari kita hentikan kontestasi politik yang semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan dengan cara liberal. Karena telah menjadikan kehidupan bangsa kita kehilangan kehormatan, etika, rasa dan jiwa nasionalisme serta patriotisme," ujar dia.
Untuk diketahui, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat mulai berlaku pada tahun 2004 di era Reformasi.
Sebelumnya, pada masa Orde Baru, presiden dipilih lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/16/10553741/ketua-dpd-pemilihan-presiden-secara-langsung-lahirkan-politik-kosmetik-dan