JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menyentil mantan napi korupsi yang kini menjabat Ketua Umum PKN, Anas Urbaningrum, yang merasa dizalimi oleh putusan pengadilan terkait hak politiknya sehingga tidak bisa nyaleg di Pemilu 2024.
Feri mengatakan Anas Urbaningrum tidak paham mengenai pembatasan hak dalam konstitusi.
Ketentuan itu diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di mana hak politik yang dapat dicabut dengan putusan hakim, di antaranya hak memegang jabatan, hak memasuki angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih pada pemilu, serta hak lainnya.
"Anas tidak paham ada pembatasan hak di dalam konstitusi," ujar Feri saat dihubungi, Minggu (16/7/2023).
Feri menjelaskan, demi kepentingan khalayak luas, pengadilan berhak untuk memberikan pembatasan bagi eks napi korupsi yang ingin mencalonkan diri di kontestasi politik.
Menurutnya, hal tersebut dilakukan supaya para koruptor jera.
"Jadi tidak bisa koruptor dengan berbagai alasan pembelaan dirinya menganggap bahwa dirinya masih punya hak politik dalam hal-hal tertentu, yang tentu saja bisa dibatasi," tuturnya.
Sementara itu, Feri merasa saat ini para koruptor sudah mulai sangat percaya diri dalam melawan putusan pengadilan.
Padahal, kata dia, jelas-jelas para koruptor ini sudah dinyatakan bersalah.
"Saya pikir tindakan para koruptor yang mencoba memaksakan untuk tetap masuk kancah politik inilah yang membuat sistem politik kita kian hancur," imbuh Feri.
Sebelumnya, mantan narapidana kasus korupsi proyek Hambalang, Anas Urbaningrum, menilai putusan Mahkamah Agung zalim.
Putusan yang dimaksud Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) itu adalah putusan majelis hakim Peninjauan Kembali (PK), yang tetap menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah Anas menyelesaikan pidana pokok.
Itu artinya, Anas yang baru bebas murni tahun ini tidak dapat maju sebagai caleg pada Pemilu 2024.
"Saya belum boleh nyaleg. Nanti. Karena ada putusan yang saya belum boleh nyaleg, putusan yang sungguh-sungguh zalim," kata Anas dalam pidato penutupan Musyawarah Nasional Luar Biasa PKN di hadapan para kadernya, Sabtu (15/7/2023).
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut beranggapan bahwa putusan itu tidak berdasar. Namun, ia menerima nasibnya.
"Tidak apa-apa. Itu sudah menjadi bagian perjalanan saya dan saudara-saudara sudah tahu persis tentang (latar belakang kasus) itu," kata Anas.
Ia mengaku memercayakan nasib partainya dalam Pemilu 2024 kepada kader-kadernya di seluruh wilayah Indonesia.
"Karena Saudara-saudara sekalian adalah caleg-caleg yang tangguh," tegasnya.
Kasus korupsi Anas Urbaningrum
Sebagaimana diketahui, Anas merupakan politisi yang sebelumnya tersangkut korupsi proyek Hambalang.
Keterlibatan Anas dalam kasus tersebut diungkapkan oleh Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin.
Tudingan ini membuat gerah Anas. Bahkan, Anas pernah menyatakan siap digantung di Monas apabila terbukti terlibat dalam kasus korupsi proyek Hambalang.
"Saya yakin. Yakin. Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas," ujar Anas di Kantor DPP Demokrat, Jakarta Pusat, Jumat (9/3/2012).
Kemudian ketika namanya semakin santer dikaitkan dengan kasus Hambalang, Anas mengingatkan KPK tidak perlu repot-repot mengurusi.
Ia menganggap pernyataan Nazaruddin yang pertama kali menyebut Anas terlibat dalam kasus itu sebagai ocehan dan karangan semata.
"Saya tegaskan, ya, KPK sebetulnya tidak perlu repot-repot mengurus soal Hambalang. Mengapa? Karena itu, kan, asalnya ocehan dan karangan yang tidak jelas. Ngapain repot-repot," ujarnya.
Dari "nyanyian" Nazaruddin. KPK pun melakukan penyelidikan. Anas lantas ditetapkan sebagai tersangka pada Februari 2013. Anas baru ditahan pada Januari 2014.
Sebulan setelahnya tepatnya 23 Februari 2014, dia menyatakan mundur dari ketua umum sekaligus kader Demokrat. Vonis terhadap Anas dijatuhkan pada September 2014.
Saat itu, Majelis Halim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Anas 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Anas dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya.
Namun, vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang meminta dia dihukum 15 tahun penjara dan uang pengganti Rp 94 miliar serta 5,2 juta dollar AS.
Tak terima atas vonisnya, Anas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pada Februari 2015, majelis hakim banding memutuskan memangkas hukuman Anas 1 tahun menjadi 7 tahun penjara.
Namun, Anas tetap didenda Rp 300 juta. Kendati dijatuhi hukuman yang lebih ringan, Anas masih tak puas. Dia mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Pada Juni 2015, MA menyatakan menolak permohonan Anas. Majelis hakim kasasi yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar kala itu justru menjatuhkan vonis 14 tahun penjara ke Anas.
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut juga diharuskan membayar denda Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan. Selain itu, Anas diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara.
Namun, lima tahun berselang, MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Anas.
Pada September 2020, majelis hakim PK yang dipimpin Sunarto menyunat hukuman Anas 6 tahun. Dengan demikian, hukuman Anas berkurang drastis menjadi 8 tahun penjara.
Namun begitu, Anas tetap dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 57,9 miliar dan 5.261.070 dollar AS. Selain itu, majelis hakim PK tetap menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah Anas menyelesaikan pidana pokok.
Setelah menjalani masa hukuman, Anas akhirnya bebas murni pada Senin (10/7/2023). Status bebas murni Anas diumumkan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung, Jawa Barat.
https://nasional.kompas.com/read/2023/07/16/10185121/merasa-dizalimi-anas-urbaningrum-disentil-tak-paham-ada-pembatasan-dalam