JAKARTA, KOMPAS.com - Setahun yang lalu kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) menyedot perhatian segala lapisan masyarakat.
Perkara itu bahkan sampai sempat memicu gelombang kritik dari masyarakat kepada Polri.
Yang membuat masyarakat geram adalah kasus itu hendak ditutupi oleh Ferdy Sambo melalui permainan sandiwara dengan mengerahkan kuasanya sebagai perwira tinggi Polri. Apalagi saat itu menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri.
Akibat sandiwara itu membuat proses pengungkapan pembunuhan Yosua oleg penyidik dari Polres Jakarta Selatan dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) berlarut-larut.
Peristiwa pembunuhan terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022, silam. Namun, peristiwa itu baru dipaparkan kepada masyarakat pada 11 Juli 2022 dengan dalih libur Hari Raya Idul Adha.
Ternyata dalam jeda waktu antara kejadian dan saat Polri memberikan keterangan, keluarga mendiang Yosua mengalami intimidasi.
Setelah jenazah Yosua datang dan disemayamkan di rumahnya di SD 74 Desa Suka Makmur, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, ayah dan ibunya yakni Samuel Hutabarat dan Rosti Simanjuntak menangis histeris.
Akan tetapi, saat itu jenazah Yosua berada di dalam peti yang tertutup. Bahkan saat itu rombongan polisi dari Jakarta datang dan meminta supaya peti jenazah tidak dibuka.
Alasannya ketika itu adalah Yosua meninggal karena melakukan perbuatan tercela. Namun, kedua orang tua mendiang tidak mempercayai alasan itu.
Keduanya kemudian memaksa membuka peti dan melihat kondisi jenazah Yosua. Anggota keluarga juga sempat dilarang mendokumentasikan kondisi jenazah Yosua, tetapi larangan itu tidak dihiraukan oleh mereka.
Setelah melihat kondisi jenazah, keluarga merasa kematian Yosua tidak wajar.
Rombongan polisi yang melarang keluarga tidak membicarakan kematian Yosua serta tidak mendokumentasikan jenazah dipimpin oleh Hendra Kurniawan.
Hendra Kurniawan ketika itu berpangkat Brigjen dan menjabta sebagai Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Propam Polri.
Jenazah Yosua pun akhirnya dimakamkan tanpa upacara kehormatan. Namun, setelah kasus itu terkuak, penyidik melakukan ekshumasi jasad Yosua buat melakukan otopsi ulang.
Setelah ekshumasi itu jenazah Yosua kembali dimakamkan dengan upacara kehormatan.
Karena pemberitaan yang terus bergulir, akhirnya kasus itu terangkat ke permukaan dan menjadi perhatian masyarakat.
Kuasa hukum keluarga Yosua, Kamaruddin Simanjuntak, menyatakan sikap Hendra yang melarang keluarga membuka peti jenazah tidak sopan.
"Terkesan intimidasi keluarga almarhum dan memojokkan keluarga sampai memerintah untuk tidak boleh memfoto, tidak boleh merekam, tidak boleh pegang HP, masuk ke rumah tanpa izin langsung menutup pintu dan itu tidak mencerminkan perilaku Polri sebagai pelindung, pengayom masyarakat," ungkapnya.
Kamarudin menyayangkan bahwa tindakan Brigjen Hendra dilakukan saat pihak keluarga sedang berduka.
"Apalagi beliau Karo Paminal harusnya membina mental Polri, tetapi ini justru mengintimidasi orang yang sedang berduka," pungkasnya.
Hendra pun menjadi salah satu perwira Polri yang diadili dalam kasus perintangan penyidikan (obstruction of justice) kasus Yosua.
Dia juga menjalani sidang Komite Kode Etik Polri (KKEP) dengan putusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau dipecat.
Hendra divonis 3 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus perintangan penyidikan. Atas vonis itu dia mengajukan banding.
Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kemudian tetap menjatuhkan vonis 3 tahun penjara kepada Hendra Kurniawan.
https://nasional.kompas.com/read/2023/07/12/20072321/siasat-ferdy-sambo-kerahkan-anak-buah-demi-bungkam-keluarga-brigadir-j