JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar otonomi daerah (otda) Djohermansyah Djohan menilai, tata kelola pemerintahan desa perlu dibenahi sebelum merealisasikan rencana perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Sebab, dengan masa jabatan yang demikian panjang, kepala desa berpotensi melakukan penyalahgunaan jika tanpa pengawasan yang memadai.
“Kalau mau melakukan langkah-langkah perubahan bukan untuk sekadar kekuasaan kades, tapi masyarakat desa yang membuat dia lebih sejahtera, itu piranti-piranti pemerintahannya harus diberesin dulu,” kata Djohan kepada Kompas.com, Rabu (5/7/2023).
Penguatan pengawasan itu misalnya, menempatkan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai sekretaris desa (sekdes).
Biasanya, sekdes dipilih dari orang dekat yang membantu kepala desa saat pemilihan. Menurut Djohan, hal demikian menutup celah pengawasan, utamanya dalam hal penggunaan anggaran.
Sekdes umumnya tak kuasa menolak perintah kades, sekalipun hal itu menyalahi aturan. Sebab, menolak perintah kades bisa berujung pada pencopotan jabatan sekdes.
“Jadi harus kasih sekdes yang profesional, kompeten, yaitu PNS,” ujar Djohan.
Bersamaan dengan itu, kata Djohan, pengawasan kepala desa oleh lembaga di atasnya harus diperkuat. Secara struktural, pengelolaan pemerintahan desa mestinya diawasi oleh inspektorat di pemerintah kecamatan dan kabupaten.
Namun, fungsi itu kerap tak berjalan maksimal karena beban inspektorat yang begitu besar dalam mengawasi lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.
Sementara, Djohan menyebutkan, Badan Permusyawaratn Desa (BPD) yang sedianya bisa menjadi pengawas jalannya pemerintah desa justru dikooptasi oleh pemerintahan desa itu sendiri.
“Perkuat itu dulu, bikin inspektorat itu punya perangkat sampai ke kecamatan, taruh pengawas keuangan desa di kecamatan. Setiap kecamatan ada pengawas keuangan desa yang mengerjakan tugas, termasuk memeriksa keuangan kepala desa,” katanya.
Demikian pula dengan perangkat desa yang umumnya adalah orang-orang yang sebelumnya turut menyukseskan kepala desa dalam pemilihan.
Dengan masa jabatan kepala desa yang begitu panjang dan orang-orang yang kurang kompeten, pengelolaan desa dinilai rawan penyalahgunaan, bahkan cenderung koruptif.
Untuk itu, diperlukan pembenahan internal pemerintah desa serta penguatan pengawasan terhadap kades dan perangkatnya.
“Jadi kekuasaan yang lama 9 tahun, miskin kompetensi, menyebabkan tata kelola governance dengan uang yang besar itu akan tidak efisien dan efektif, dan bahkan berpotensi ke penyimpangan, korupsi,” tutur mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu.
Sebelumnya, rapat panitia kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyepakati masuknya 19 poin perubahan dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (RUU Desa). Salah satu poin revisi UU itu yakni penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
“Perubahan Pasal 39 terkait masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun, paling banyak dua kali masa jabatan secara berturut turut atau tidak secara berturut turut,” demikian salah satu poin revisi UU Desa sebagaimana yang dibacakan dalam rapat Panja di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (3/7/2023).
Bersamaan dengan itu, Baleg juga mengusulkan perubahan besaran dana desa dari Rp 1 miliar menjadi Rp 2 miliar per desa setiap tahun lewat revisi UU Desa.
Awalnya, tim ahli Baleg mengusulkan agar besaran dana desa diubah dari 10 persen menjadi 15 persen bersumber dari dana transfer daerah. Namun, Baleg memandang alokasi dana desa menggunakan persentase tidak adil karena ada daerah yang dana transfernya besar dan kecil.
“Jadi lebih bagus kayak sekarang kan Rp 1 miliar satu desa. Nah kita naikkan sekarang menjadi Rp 2 miliar per desa ya, minimal ya," kata Ketua Baleg Supratman Andi Agtas dalam rapat.
https://nasional.kompas.com/read/2023/07/05/17185551/masa-jabatan-kepala-desa-bakal-ditambah-jadi-9-tahun-pengawasan