Hal ini disampaikan Binsar menanggapi adanya eksaminasi yang dilakukan oleh delapan akademisi terhadap putusan kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Menurut Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta ini, eksaminasi terhadap sebuah perkara hanya bisa dilakukan saat perkara tersebut sudah ikracht atau berkekuatan hukum tetap.
"Hanya putusan pengadilan yang sudah inkracht yang bisa dilakukan eksaminasi oleh siapa pun untuk kepentingan akademis," ujar Binsar saat dihubungi Kompas.com, Selasa (13/6/2023).
Binsar lantas memastikan bahwa perkara yang menjerat mantan Kepala Divisi Profesi dan Kemanan (Kadiv Propam) Polri itu masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Hal ini juga sudah dikonfirmasi oleh Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Kepala Biro Humas MA, Soebandi.
"Ini berarti perkara tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht vangewijsde," kata hakim yang pernah mengadili kasus kopi maut bersianida itu.
Adapun bunyi pasal tersebut adalah "Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim".
"Jika putusan pidana yang belum berkekuatan hukum tetap dilakukan eksaminasi oleh para akademisi, sekalipun itu dikatakan murni untuk kepentingan akademis berarti telah terjadi intervensi putusan pengadilan," ujar Binsar.
"Hal ini berpotensi memengaruhi para hakim agung nanti pada saat membuat putusan kasasi maupun peninjauan kembali," kata hakim HAM yang pernah menangani kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur dan Tanjung Priok tersebut melanjutkan
Binsar juga berpandangan, pembahasan atau pengujian terhadap putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap merupakan bentuk merendahkan putusan pengadilan.
Ia mengatakan, keberatan terhadap suatu putusan seharusnya diuji melalui upaya hukum yang telah disediakan oleh ketentuan Undang-Undang.
"Segala persoalan hukum menyangkut materi perkara yang dikomentari dan dianalisis tersebut dilakukan lewat upaya hukum melalui kuasa hukum yang berkepentingan, bukan dilakukan eksaminasi di luar upaya hukum kasasi," ujarnya.
Sebagai informasi, delapan akademisi yang mengeksaminasi putusan mati Ferdy Sambo adalah Profesor Edward Omar Sharif Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Amir Ilyas, Koentjoro, Chairul Huda, Mahmud Mulyadi, Rocky Marbun, dan Agustinus Pohan.
Hal yang dieksaminasi kedelapan akademisi tersebut adalah dokumen terkait perkara a quo kasus pembunuhan berencana Brigadir J dengan terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
Dari hasil eksaminasi, terdapat tujuh isu hukum terhadap putusan Ferdy Sambo. Salah satunya menyebut bahwa perbuatan Ferdy Sambo kurang tepat dikenakan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana tapi lebih tepat Pasal 338 atau pembunuhan biasa.
Eksaminator juga mendiskusikan putusan istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi terkait Pasal turut serta dalam pembunuhan berencana.
Hasil eksaminasi menunjukan bahwa perbuatan Putri Candrawathi itu lebih tepat sebagai membantu orang lain melakukan kejahatan seperti yang diatur dalam Pasal 56 KUHP.
Namun, eksaminator berpandangan tidak tepat istri eks Kadiv Propam Polri itu dinyatakan bersalah melakukan turut serta pembunuhan berencana.
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/13/15573001/eksaminasi-putusan-ferdy-sambo-putri-candrawathi-dinilai-sebagai-bentuk