Salin Artikel

Iklan Sampah Politisi

Meski sejumlah bakal caleg masih harap-harap cemas, menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) apakah pemilihan legislatif 2024 masih menggunakan sistem proporsional terbuka atau beralih ke tertutup seperti zaman Orde Baru.

Terlepas dari itu, yang berlangsung saat ini, telah menjadi semacam arena “dagang” parpol dan para bakal caleg atau politisi, yang intensitasnya tentu akan semakin meningkat saat memasuki jadwal resmi kampanye yang ditetapkan KPU.

Segala cara bakal diupayakan agar parpol dan politisi menjadi laku. Namanya juga jualan, yang dipromosikan dan dipasarkan pastilah yang baik-baik.

Tak heran, yang kelihatan dari semua politisi adalah soal janji akan memenuhi harapan rakyat.

Wajar bila isi pesan dari baliho, spanduk, stiker, flayer dan alat peraga lainnya (baca: iklan politik) adalah slogan para politisi bahwa mereka paling peduli dan paling bisa menjembatani aspirasi rakyat.

Ada yang mempromosikan dirinya sebagai pejuang, ada yang mengecap dirinya sebagai orang cerdas, aspiratif, santun, bertanggung jawab, amanah, membawa kemajuan dan lainnya.

Perkara itu sesuai dengan rekam jejak mereka atau tidak, itu bukan menjadi soal, yang penting adalah bisa lebih dikenal dan meraih simpati pemilih.

Jika sebelumnya hari-hari besar sepi dengan ucapan selamat, sekarang ini setiap ada momentum apapun muncul ucapan selamat dari para politisi.

Sayangnya, realitas politik dalam mekanisme demokrasi elektoral semacam ini, yang memang membutuhkan kemampuan mempersuasi pemilih ternyata belum dapat dikelola secara apik, baik oleh parpol maupun politisi atau caleg.

Meski ada yang memulai menggunakan cara-cara kreatif seperti yang saya ulas sebelumnya di kolom ini, dalam artikel berjudul “Politik Kreatif” di Era Disrupsi (Kompas.com, 6/6/2023).

Namun masih terlihat sebagian dari alat peraga maupun konten yang digunakan untuk kampanye, yang seharusnya ditujukan pada pemilih, ternyata banyak yang dibikin sekadar untuk memuaskan para politisinya sendiri.

Misalnya; pesan, foto atau gambar yang dirasa bagus menurut mereka (politisi), itulah yang dipasang dalam iklan, tak peduli apakah tampilan sesuai dan mampu mempersuasi pemilih atau tidak.

Beberapa, kalau tidak mau dikatakan semua iklan politik masih terjebak pada upaya peningkatan popularitas dengan pendekatan fisik (visual) semata ketimbang mempopulerkan ide dan gagasan.

Padahal ide dan gagasan adalah sesuatu yang substansi dan dampaknya dapat berkontribusi positif bagi pendidikan politik, turut mencerdaskan pemilih.

Bahkan beberapa di antaranya tanpa malu menumpang popularitas orang lain, seperti foto dan nama almarhum orangtuanya, tokoh, selebritis atau atlet terkenal, yang tak berkaitan dengan isu pemilu.

Artinya iklan politik yang mestinya menjadi media komunikasi dan publikasi gagasan, pemikiran dan tujuan politik para politisi dengan calon konstituennya, menjadi miskin substansi.

Kenyataan semacam ini menunjukan belum banyak perubahan dari kampanye politik jelang pemilu pada waktu-waktu sebelumnya. Realitas politik yang sebenarnya turut merepresentasikan kapasitas dari politisi yang ada di panggung politik saat ini.

Mempertegas bahwa bagi banyak politisi gagasan atau rencana politik yang krusial bagi kepentingan rakyat masih belum menjadi agenda penting untuk diusung, yang penting adalah memoles tampilan diri.

Menjadi lumrah, bila politisi lebih banyak dan gencar menampilkan performa diri yang kadang semu, atau panjat sosial, daripada turun ke masyarakat. Seperti yang tercermin dalam media sosialisasi mereka.

Alih-alih mengajak calon konstituen untuk mengenal dan memahami pemikiran para politisi, iklan-iklan tersebut tidak lebih dari parade gambar wajah politisi, yang tak ubahnya iklan produk kosmetik.

Gaya berkampanye yang lebih mengedepankan citra dan penampilan luar tanpa ada pesan yang kuat menunjukan dunia politik saat ini, tak lebih dari panggung hiburan yang sarat dengan gaya narsistik.

Banyaknya iklan yang seragam dan minim kreativitas tentunya menanggalkan esensi iklan politik. Padahal iklan politik tentu bukan hanya sekadar parade gambar para politisi tapi ada agenda politik yang mesti turut dijabarkan.

Iklan politik juga tidak sekadar upaya meningkatkan popularitas politisi lewat gimmick dan perlombaan pajang tampang di berbagai tempat, yang kadang menjadi sampah visual.

Sampah visual adalah istilah yang digunakan untuk mengkritisi penggunaan atau pemasangan beragam iklan seperti baliho, spanduk yang menabrak ketentuan atau aturan, estetika, norma-budaya dan pranata sosial.

Selain itu, di era kekinian, di mana distribusi iklan politik lewat media digital makin menemukan momentum, sebaran iklan berupa flayer di media sosial pun bisa jadi tumpukan sampah visual, bila tak berdampak mempersuasi khalayak.

Substansi dan tujuan iklan politik adalah meningkatkan elektabilitas (keterpilihan). Sehingga, jika suatu iklan politik tidak berkorelasi dengan elektabilitas, pastinya iklan politik itu adalah sampah politik dari proses politik yang tengah dijalani.

Persoalan mendasar kenapa iklan politik para politisi ini menjadi sampah politik adalah, rata-rata iklan politik yang dibuat tidak berkorelasi dengan peningkatan elektabilitas, meskipun turut mendongkrak popularitas.

Segmentasi iklan politik

Iklan politik yang kurang berbanding lurus atau tidak berdampak elektoral terhadap elektabilitas menunjukan bahwa penetrasi iklan tersebut belum atau tidak tepat pada sasaran.

Padahal merancang iklan politik sebenarnya relatif sama atau tak ada bedanya dengan iklan produk komersial, yang juga harus mampu mengidentifikasi selera atau keinginan konsumen (baca; pemilih).

Jika mau belajar pada pembuatan iklan produk komersial, hampir semua produk menetapkan segmen pasar atau ceruk market yang akan dipersuasi. Itu artinya, tidak ada satupun iklan komersial yang tak menetapkan segmen pasar.

Dalam konteks tersebut, Smith dan Hirst (2001) berpendapat bahwa institusi politik perlu melakukan segmentasi politik, terutama dalam pemakaian iklan politik. Menurut mereka, perlu segmentasi disebabkan beberapa hal atau indikator.

Pertama, tidak semua segmen pasar politik harus dimasuki. Hanya segmen-segmen pasar yang memiliki ukuran dan jumlah signifikanlah yang sebaiknya diperhatikan atau disasar.

Kedua, sumber daya politik bukannya tidak terbatas. Seringkali partai politik dan politisi (caleg) harus melakukan aktivitas yang menjadi prioritas utama mengingat keterbatasan sumber daya.

Ketiga, terkait dengan efektifitas program komunikasi politik yang akan dilakukan. Masing-masing segmen politik memiliki ciri dan karakteristik yang berlainan atau tidak sama.

Kenyataan ini menuntut pendekatan yang dilakukan juga harus membedakan (diferensiasi) hal-hal yang ditujukan kepada satu kelompok (masyarakat) dengan hal-hal yang ditunjukkan kepada kelompok lainnya.

Misalnya, pendekatan politik melalui iklan politik di kota berbeda dengan di pelosok desa; kepada pemilih pemula berbeda dengan pemilih yang sudah mapan pilihan politiknya, dan sebagainya.

Iklan politik outdoor mesti berbeda tampilan atau kontennya dengan di indoor, termasuk bila iklan itu di media sosial, harus berbeda antara di platform yang diikuti followers-nya dengan yang digunakan secara bersama.

Seperti di Instagram, Twitter dan Tiktok bisa lebih leluasa mengunggah iklan politik, tapi bila di Whatsapp grup, Line grup dan Telegram grup mesti lebih berhati-hati, tidak hanya asal kirim, apalagi bertubi-tubi, alih-alih orang suka, malah bisa antipati.

Keempat, segmentasi ini perlu dilakukan dalam iklim persaingan parpol. Harus ada hasil analisis yang lebih terukur untuk membedakan strategi bersaing satu partai politik dengan partai politik lainnya.

Hal ini untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan identifikasi terhadap parpol beserta politisi yang akan didukung. Karena bila program yang ditawarkan seragam, pemilih sulit untuk membedakan.

Dengan adanya segmentasi politik, strategi peningkatan elektabilitas parpol dan politisi dapat digagas dengan lebih jitu. Termasuk juga dengan iklan politik yang dibuat, penetrasinya akan lebih efektif.

Sebab dengan segmentasi politik, iklan politik yang dilancarkan dapat disesuaikan dengan klasifikasi dan pengelompokan dalam masyarakat.

Terhadap setiap kelompok masyarakat memakai pendekatan yang berbeda dengan iklan politik yang berbeda pula. Misalnya di satu daerah atau di kawasan tertentu iklan lewat media massa efektif, tetapi di daerah lain itu menjadi tidak penting dilakukan. Antara lain karena akses dan sebaran media massa pada daerah itu tidak begitu masif.

Atau misalnya seorang politisi sudah merasa puas beriklan lewat media sosial, padahal di daerah pemilihannya akses internet belum merata, dan itu berarti tidak banyak yang bisa dijangkau oleh iklan politik yang dibuat itu.

Selain dapat mengefektifkan penggunaan iklan politik, dalam konteks yang jauh lebih strategis, segmentasi politik dapat ikut membantu partai dan politisi mengidentifikasi kepentingan dan tujuan politik masing-masing kelompok dalam masyarakat.

Sehingga dapat membantu partai dan politisi untuk dapat meningkatkan ketepatan dan program kerja serta isu politik di setiap kelompok masyarakat.

Hal itu tentu saja dapat membantu parpol dan politisi mengembangkan program komunikasi politik yang akan dilakukan mengingat setiap kelompok masyarakat memiliki cara pikir yang berbeda.

Karenanya komunikasi politik, dalam hal ini iklan politik, perlu disesuaikan atau dibuat menjadi relevan dengan kebutuhan, kondisi dan karakteristik setiap kelompok masyarakat.

Di sisi lain segmentasi politik juga dapat membantu analisis atas persaingan politik. Misalnya segmentasi bisa dilakukan melalui metode pengelompokan; pendukung, non pendukung dan massa mengambang atau swing voters.

Dengan melihat jumlah yang ada di setiap segmen dapat membantu parpol serta politisi dalam menghitung probabilitas menang atau kalah.

Dengan demikian, aritmatika politik bisa dihitung, sehingga program marketing politik seperti advertising dan distribusi pesan serta informasi politik, lewat iklan politik dapat ditata dengan tepat dan efisien. Menghadirkan impresi pemilih.

Tanpa adanya strategi, antara lain dengan melakukan pemetaan dan segmentasi, iklan politik hanya akan menjadi sampah politik, karena mungkin saja turut meningkatkan popularitas dari parpol dan politisi, tapi tidak dengan elektabilitas, atau bahkan salah sasaran.

Artinya, iklan politik mungkin menjadikan parpol atau seorang politisi dikenal, tapi belum tentu membuatnya dipilih oleh para pemilih. Atau merasa telah beriklan dan berkampanye, tapi pesannya tidak sampai pada pemilih yang mau dituju.

Iklan politik pada ujungnya hanya atau justru menjadi sampah politik para politisi.

https://nasional.kompas.com/read/2023/06/12/06000061/iklan-sampah-politisi

Terkini Lainnya

Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Nasional
Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Nasional
Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Nasional
Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Nasional
Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Nasional
Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Nasional
Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Nasional
Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

Nasional
Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

Nasional
KSP Sebut Bakal Pertimbangkan Nama-nama Pansel KPK Rekomendasi ICW

KSP Sebut Bakal Pertimbangkan Nama-nama Pansel KPK Rekomendasi ICW

Nasional
Kementan Rutin Kirim Durian Musang King, SYL: Keluarga Saya Tak Suka, Demi Allah

Kementan Rutin Kirim Durian Musang King, SYL: Keluarga Saya Tak Suka, Demi Allah

Nasional
Jokowi-Puan Bertemu di WWF 2024, Pengamat: Tidak Akan Buat Megawati Oleng

Jokowi-Puan Bertemu di WWF 2024, Pengamat: Tidak Akan Buat Megawati Oleng

Nasional
56.750 Jemaah Haji Tiba di Madinah, 6 Orang Dikabarkan Wafat

56.750 Jemaah Haji Tiba di Madinah, 6 Orang Dikabarkan Wafat

Nasional
Ingatkan Soal Kuota Haji Tambahan, Anggota DPR: Jangan Sampai Dipanggil KPK

Ingatkan Soal Kuota Haji Tambahan, Anggota DPR: Jangan Sampai Dipanggil KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke