Ini artinya DPR kini resmi penanggung jawab penyelesaian RUUK, sesuai dengan fungsi DPR sebagai lembaga legislatif.
Pada 5 April 2023, Menteri Kesehatan, selaku wakil pemerintah telah menyampaikan daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk dipertimbangkan oleh DPR (cq. Komisi IX) dalam pembahasan RUUK.
DIM merupakan pasal-pasal dalam berbagai undang-undang untuk dimasukkan dalam RUUK, dengan atau tanpa perubahan.
Ada sepuluh undang-undang terkait kesehatan yang akan dicabut, antara lain UU Kesehatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, UU Tenaga Kesehatan, UU Farmasi, hingga UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
DIM tersebut terdiri dari 3.020 butir bahasan dalam batang tubuh RUUK. Seluruhnya terdiri dari 1.037 butir yang bersifat tetap sebagaimana yang dirumuskan DPR.
Selanjutnya 399 butir berupa perubahan redaksional dan 1.584 butir berupa perubahan substansi.
Untuk bagian penjelasan dari RUUK, pemerintah menyerahkan 1.488 butir bahasan, dengan rincian 609 tetap, 14 butir perubahan redaksional, dan 865 butir perubahan substansi.
Kontroversi
Dalam menyusun DIM, pemerintah mengklaim telah menampung saran-saran dari berbagai pihak terkait, melalui dengar pendapat dan konsultasi publik sesuai UU 12/2011 (yang diubah terakhir dengan UU 13/2022).
Namun hal itu ditolak oleh beberapa organisasi profesi (OP) kesehatan, termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Gigi Indonesia (IDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Sejak awal beredarnya draf RUUK pada Oktober 2022, IDI dan OP kesehatan lain telah keberatan dengan substansinya.
Selain itu mereka merasa tidak dilibatkan, bahkan tidak memperoleh salinan RUUK tersebut secara formal. Yang mereka dapat berasal dari grup aplikasi percakapan.
Baru setelah mengadakan jumpa pers mempertanyakan adanya RUUK model OBL, Badan Legislasi DPR mengundang mereka pada awal Oktober 2022, untuk dimintai pendapat (Kompas.id, 4/11/2023).
Kulminasi kegalauan OP kesehatan memuncak dengan digelarnya aksi demonstrasi menolak pembahasan RUUK pada 8 Mei 2023, di Jakarta dan di beberapa daerah.
Mereka menuntut agar pembahasan RUUK dihentikan, karena tidak setuju dengan prosedur dan substansi peraturan dalam RUUK.
Penyusunan RUUK dianggap terburu-buru, tidak transparan dan tidak urgen. Selain itu juga tidak ada elemen kompleksitas, heterogenitas, dan kontradiksi dari peraturan-peraturan yang diatur ulang sebagaimana layaknya penyusunan omnibus law (Iqbal Mochtar, kompas.id, 18/10/2022).
Mencari titik temu
Perbedaan pendapat tentang RUUK sudah selayaknya diakhiri. Untuk itu perlu ada kesediaan untuk membicarakan substansi RUUK secara dingin.
DPR perlu memfasilitasi pembahasan RUUK dengan mempertemukan pihak-pihak yang berbeda pendapat secara langsung dan terbuka untuk publik.
Mungkin model pembahasan kasus Bank Century di DPR yang disiarkan secara “live” oleh beberapa media televisi beberapa tahun lalu perlu ditiru. Ini perlu untuk memahami alasan pihak-pihak yang berbeda pendapat.
Proses pembahasan di internal DPR selanjutnya juga perlu terbuka. Dengan demikian, publik dapat memahami persoalan sebenarnya, sekalian mengetahui posisi anggota dan fraksi DPR yang membahas RUUK.
Dalam mengambil keputusan mengenai bunyi pasal-pasal yang tidak disepakati, DPR dapat saja mengundang para pakar kesehatan yang selama ini tidak didengar atau terdengar suaranya, termasuk mereka yang bekerja atau mengajar di luar negeri.
Pendeknya DPR perlu melakukan semua hal yang perlu untuk menuntaskan persoalan RUUK. Waktu jangan menjadi kendala untuk itu. Lebih baik perlahan asal tuntas dan terbaik untuk bangsa.
Kita berharap musyawarah dapat dikedepankan sebelum pemungutan suara dilakukan. Setelah palu diketok oleh pimpinan Sidang Paripurna DPR nanti, semua pihak perlu berhenti melakukan upaya penolakan, termasuk melakukan demonstrasi.
Jika ada ketidakpuasan dengan UU Kesehatan yang baru, maka permohonan peninjauan kembali (judicial review) UUK (OBL) dapat disampaikan ke Mahkamah Konstitusi sesuai prosedur yang berlaku.
Mulai saat ini ungkapan-ungkapan bernada emosi seyogianya dicegah untuk terpublikasikan. Kita tidak ingin mendengar suara bernada “harus jadi” dari pejabat pemerintah.
Kita juga tidak ingin ada “ancaman” untuk menghentikan pelayanan rumah sakit guna memaksakan pendapat. Semua itu terdengar menggetirkan dan mestinya tidak terjadi di negeri yang kita cintai ini.
Masalah yang kita hadapi saat ini tentunya juga dihadapi oleh negara-negara lain. Oleh sebab itu, solusi yang terbaik pasti ada.
Untuk itu, semua pihak terkait perlu berupaya untuk mencari solusi terbaik dan bersedia menerima hasilnya.
Waktu masih ada, mari kita menyelesaikan kemelut RUUK ini sebaik-baiknya demi bangsa dan negara.
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/08/16294201/selesaikan-kemelut-ruu-kesehatan
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.