Salin Artikel

Menilik Urgensi Optimasi Diversi dalam Peradilan Pidana Anak

Hal itu terlihat dari sejumlah data pelaksanaan Diversi hingga pengetahuan aparat penegak hukum.

Kasus anak berhadapan hukum (ABH) hingga 2020, menurut data Laporan Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak Tahun 2021 yang dilansir dari halaman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menunjukkan Mahkamah Agung mencatat ada 5.774 kasus. Dari angka tersebut, hanya 452 kasus yang diselesaikan dengan Diversi.

Sementara menurut data versi Kepolisian Republik Indonesia, kasus ABH tercatat 8.914 kasus, selesai melalui Diversi hanya 473 kasus.

Versi lain menurut Kejaksaan Republik Indonesia, kasus ABH tercatat 7.329 kasus, dengan penyelesaian Diversi 908 kasus.

Hal ini menunjukkan, dari seluruh kasus ABH pada 2020, tidak sampai 10 persen yang diselesaikan dengan Diversi.

Selain itu, hingga 2020, data Mahkamah Agung menunjukkan dari 4.414 hakim di seluruh Indonesia, baru sejumlah 2.240 hakim yang telah mengikuti pelatihan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Sementara data Bareskrim Polri menunjukkan, 1.401 anggota kepolisian belum mengikuti pelatihan/kejuruan PPA/SPPA, dan baru 650 anggota kepolisian yang mengikuti pelatihan terpadu SPPA.

Hal ini mencerminkan bahwa praktik peradilan pidana anak di Indonesia masih jauh dari cita-cita ideal yang dituangkan dalam UU SPPA.

Fungsi dan tujuan kebijakan Diversi masih belum dapat dimengerti dan diterima secara menyeluruh oleh aparat penegak hukum (APH) maupun oleh masyarakat Indonesia.

Sebelas tahun sejak diundangkannya UU SPPA, Diversi perlu didudukkan kembali dengan semangat restorative justice yang melandasinya, serta asas kepentingan terbaik bagi anak yang menjadi konsensus di dalam Konvensi Hak Anak (KHA).

Hal ini tidak hanya perlu dicermati dalam ranah praktis, namun perlu dimaknai hingga ranah konseptual.

Sistem peradilan pidana anak saat ini belum dirancang secara sempurna untuk membantu anak dalam perjuangannya untuk mengatasi viktimisasi terhadap anak.

Dalam Pasal 5 UU SPPA ayat (2) huruf a dan huruf b menyebutkan bahwa Diversi wajib diupayakan. Namun kerap kali implementasi Diversi gagal akibat asingnya kebijakan ini bagi masyarakat, bahkan bagi APH sekalipun.

Implementasi Diversi berfokus pada konsep pemulihan keadaan terhadap kondisi semula terhadap pelaku dan korban anak (Considene, 1995).

Berlandaskan konsep restorative justice, maka semangat utama untuk keberhasilan implementasi Diversi sesungguhnya melekat pada 3 (tiga) faktor yaitu Korban, Pelaku, dan Masyarakat.

Implikasinya, kejahatan dipandang sebagai pelanggaran terhadap masyarakat, bukan terhadap Negara (Braithwaite, 1989).

Fokusnya mengenai apa yang diatur, bukan siapa yang mengatur. Maka konteks pelaku, korban, dan masyarakat sebagai aspek yang diatur, wajib memiliki peran yang maksimal di dalam implementasi Diversi.

Pada aspek inilah, Diversi perlu dioptimasi dengan mendudukkan kembali semangat restorative justice.

Pakar hukum anak Universitas Pancasila, Yunan Prasetyo Kurniawan, menyoroti hal ini sebagai gap dalam UU SPPA yang belum mengatur secara spesifik fungsi dan peran serta masyarakat.

Masyarakat yang seperti apa dan bagaimana, yang mampu memberikan pengaruh dan dampak bagi optimasi implementasi Diversi.

Masalah praktis lainnya, asingnya pengetahuan mengenai kebijakan Diversi membuat masyarakat tidak meyakini bahwa kebijakan Diversi mampu memberikan jaminan kepastian hukum bahwa tidak akan terjadi perulangan kejahatan.

Sementara APH sebagai aspek yang mengatur, perlu memiliki pemahaman, persepsi, dan tingkat pengetahuan yang setara mengenai Diversi, untuk menghindari ketidakseragaman praktik Diversi pada penanganan perkara tindak pidana anak.

Hal ini perlu didorong melalui pendidikan dan pelatihan SPPA terpadu yang berkelanjutan bagi APH.

Revolusi budaya

Sebagai bangsa warisan kolonialisme Belanda, positivisme barat dengan penghukuman retributif sangat melekat dalam budaya masyarakat.

Untuk menggeser paradigma retributif menjadi restoratif, diperlukan juga adanya revolusi mental di dalam masyarakat.

Pembalasan dengan pidana penjara maupun ganti rugi materil yang sebesar-besarnya, kerap menggagalkan implementasi Diversi untuk dilakukan antara pihak pelaku dan korban.

Korban seringkali merasa sakit hati dan menganggap wajar jika pemidanaan dilakukan maupun ganti rugi diminta sebesar-besarnya.

Pada beberapa kasus di daerah, pidana anak juga seringkali diselesaikan dengan mengikuti hukum adat.

Kurniawan (2022) dalam penelitiannya, melihat permasalahan ini karena belum adanya substansi pengaturan secara jelas mengenai petunjuk teknis terhadap tolok ukur dan batasan dalam praktik pelaksanaan kebijakan Diversi.

Restitusi juga perlu diatur secara jelas, sehingga menjadi suatu kewajaran ganti rugi yang dapat dipenuhi dan diterima oleh pelaku, korban, dan masyarakat.

Ai Maryati Sholihah, Ketua Komisi Perlindungan Anak, pada laman kpai.go.id menekankan pentingnya komitmen masyarakat dan pemerintah untuk membenahi permasalahan kultural demi pencapaian dan pemenuhan perlindungan bagi hak-hak anak secara proporsional.

Perlu disadari, bahwa pelanggaran pada anak bukanlah murni kesalahan anak. Orangtua, keluarga, dan lingkungan sebagai garda terdepan dalam pendidikan dan penjagaan terhadap anak, turut mengambil peran di dalamnya.

Mereka memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki dan memulihkan keadaan seperti semula. Anak bukan untuk dihukum dan penjara bukan tempat yang tepat bagi tumbuh kembang anak. Masa depan anak adalah hal yang utama.

Sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat tentang peran Diversi sebagai kepentingan terbaik bagi anak perlu untuk dilakukan secara serius dan berkelanjutan.

Pembentukan masyarakat restoratif dalam jangka panjang, perlu menjadi agenda revolusi mental dan budaya di dalam sistem hukum.

Di berbagai negara maju, pendidikan restoratif telah ditanamkan sejak usia dini melalui sekolah-sekolah berbasis restoratif.

Kebijakan Diversi hingga saat ini masih menjadi opsi yang tidak populer untuk dipilih masyarakat dalam kasus ABH sebagaimana diundangkan dalam SPPA.

Karena secara substansi yuridis, Diversi wajib diupayakan secara proses, tetapi tidak bersifat mutlak dipilih bagi masyarakat.

Inilah dualisme substansi dasar yang perlu menjadi refleksi bagi optimasi implementasi kebijakan Diversi dalam instrumen hukum UU SPPA.

Diversi perlu diatur dalam suatu instrumen hukum yang mutlak dan proporsional, bersifat multifungsi bagi ragam kasus ABH, terpisah (stand-alone), serta tidak tumpang tindih dengan bentuk hukum lain yang berlaku di masyarakat seperti hukum adat.

Hal tersebut yang kemudian tentunya berimbas pada tataran implementasi di lapangan terkait tugas pokok dan fungsi, serta model koordinasi antarlembaga dalam pelaksanaan kebijakan Diversi dalam SPPA.

https://nasional.kompas.com/read/2023/06/05/16035411/menilik-urgensi-optimasi-diversi-dalam-peradilan-pidana-anak

Terkini Lainnya

Dukung Program Prabowo-Gibran, Partai Buruh Minta Perppu Cipta Kerja Diterbitkan

Dukung Program Prabowo-Gibran, Partai Buruh Minta Perppu Cipta Kerja Diterbitkan

Nasional
Sidang Gugatan PDI-P Kontra KPU di PTUN Digelar Tertutup

Sidang Gugatan PDI-P Kontra KPU di PTUN Digelar Tertutup

Nasional
Hakim MK Berang KPU Tak Hadiri Sidang Sengketa Pileg, Tuding Tak Pernah Serius sejak Pilpres

Hakim MK Berang KPU Tak Hadiri Sidang Sengketa Pileg, Tuding Tak Pernah Serius sejak Pilpres

Nasional
PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

Nasional
Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Nasional
Timnas Lawan Irak Malam Ini, Jokowi Harap Indonesia Menang

Timnas Lawan Irak Malam Ini, Jokowi Harap Indonesia Menang

Nasional
Peringati Hardiknas, KSP: Jangan Ada Lagi Cerita Guru Terjerat Pinjol

Peringati Hardiknas, KSP: Jangan Ada Lagi Cerita Guru Terjerat Pinjol

Nasional
Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Nasional
Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat 'Smart Card' Haji dari Pemerintah Saudi

Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat "Smart Card" Haji dari Pemerintah Saudi

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Nasional
Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Nasional
Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Nasional
Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri 'Triumvirat' dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri "Triumvirat" dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Nasional
Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke