Para pelaku dalam organisasi pembelajar menunjukkan bahwa mereka berhasil menyelenggarakan layanan publik walaupun harus bekerja dari rumah.
Dalam rilis Bank Dunia, skor efektivitas pemerintah Indonesia meningkat, dari 0,35 pada 2020 menjadi 0,38 pada 2021. Skor ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan layanan publik selama masa pandemi justru meningkat.
Peningkatan efektivitas dalam penyelenggaraan layanan publik selama masa pandemi tidak dapat dilepaskan dari akselerasi transformasi digital yang diterapkan secara masif oleh lembaga dan instansi pemerintah serta kemampuan adaptasi ASN terhadap segala ketidakpastian situasi yang dihadapi. Kondisi tersebut dapat disebut dengan legacy pandemi.
Kerja fleksibel
Kondisi pandemi yang mulai melandai dan bekal positif dari peninggalan pandemi tersebut ditangkap Presiden Jokowi sebagai momen yang tepat untuk menata kembali Hari Kerja dan Jam Kerja Instansi Pemerintah dan Pegawai Aparatur Sipil Negara melalui penerbitan Perpres 21 Tahun 2023 tanggal 12 April 2023.
Dalam Perpres dimaksud secara spesifik disebutkan dalam pasal 8 ayat 1 bahwa ASN dapat melaksanakan tugas kedinasan secara fleksibel.
Bentuk fleksibilitas yang dimaksud diatur secara rinci pada ayat berikutnya dengan menyebutkan fleksibilitas secara lokasi maupun secara waktu.
Terbitnya aturan ini juga mengakomodasi kultur dan kebutuhan generasi milenial yang mulai mendominasi postur dan sebaran ASN di Indonesia. Fleksibilitas juga dinilai mampu menjawab tantangan kampanye keseimbangan bekerja-berkehidupan.
Lahirnya aturan tidak lantas serta merta membuat penerapannya menjadi mudah, terlebih akan lahir tuntutan baru, utamanya dari pengguna layanan publik.
Setidaknya harus ada dua hal yang dicermati. Pertama, bagaimana kesiapan lembaga dan instansi pemerintah untuk menerapkan kontrol terhadap pelaksanaan fleksibilitas pola kerja dan kepastian pemenuhan janji layanan publik.
Kedua, keberhasilan transformasi digital dan penerapan layanan tanpa tatap muka tidak akan dapat memuaskan para pengguna layanan yang masih ingin dilayani secara fisik.
Perpres dimaksud memberikan amanat kepada menteri yang membidangi urusan Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mendetailkan terkait pelaksanaan, termasuk kriteria jenis pekerjaan yang dapat diselenggarakan secara fleksibel.
Pelaksanaan Work From Anywhere (WFA) tidak hanya bergantung aturan dan teknologi informasi semata, namun harus diikuti dengan kesiapan sistem dan pegawainya sendiri.
Sistem birokrasi di Indonesia yang masih membutuhkan kontrol dari atasan menjadi catatan penting bagi pelaksanaan WFA.
Terlepas dari segala akselerasi transformasi digital dan beragam inovasi yang telah terjadi, ukuran indikator kinerja yang jelas dalam level organisasi dan level individu merupakan hal yang harus disiapkan dalam pelaksanaan WFA.
Indikator kinerja pegawai yang jelas akan memudahkan seorang ASN bekerja dari mana saja. Tujuan yang jelas dan terukur menjadi kontrol dalam melaksanakan layanan publik.
ASN harus dapat meningkatkan kompetensi dan pandai serta cepat menyesuaikan (agile) terhadap perubahan organisasi dan tuntutan publik.
WFA harus diperlakukan sebagai kemewahan dan pengakuan atau rekognisi atas capaian kerja yang memuaskan dari seorang ASN.
Kemewahan WFA selayaknya diberikan secara selektif dan terukur untuk menjaga iklim persaingan sehingga tiap ASN akan terus berlomba-lomba mencatatkan capaian kerja yang optimal, alih-alih diberikan kepada ASN secara umum.
Demikian halnya dengan organisasi yang dapat menerapkan WFA selayaknya dinilai terlebih dahulu oleh Kementerian yang membidangi urusan Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, baik dari sisi karakteristik pekerjaan maupun capaian kinerja organisasi.
Kebutuhan layanan fisik kerap kali muncul akibat keengganan untuk berubah. Oleh karenanya, tiap instansi dan lembaga pemerintah sudah seharusnya menyampaikan bahwa pemanfaatan teknologi digital seperti Big Data yang terintegrasi antarkementerian dan lembaga merupakan wujud collaborative governance yang bertujuaan meningkatkan kualitas layanan.
Pemerintah harus secara aktif menyampaikan bahwa penghematan belanja birokrasi yang terdiri dari belanja ATK dan konsumsi rapat, perjalanan dinas, konsinyering dan honorarium tim, mengalami tren penurunan karena penerapan pola kerja dari rumah bagis ASN selama pandemi.
Semakin banyak penghematan anggaran yang dilakukan, maka akan membuat pemerintah lebih fleksibel untuk menentukan prioritas alokasi anggaran yang lebih berdampak pada masyarakat.
Tantangan pemerataan transformasi digital tentu menjadi isu yang wajib diselesaikan agar kebutuhan layanan fisik dapat semakin diminimalisasi.
Transformasi digital yang lebih merata akan membuat masyarakat menjadi lebih siap untuk berubah.
Kemudahan akses, pengalaman penggunaan aplikasi dan akuntabilitas layanan akan menjadi lebih terkontrol dengan adanya layanan tanpa tatap muka.
Hal terpenting yang perlu dikomunikasikan bahwa tuntutan pengembalian layanan tatap muka tidak sejalan dengan spirit pencegahan korupsi. Dengan adanya pergeseran menjadi layanan digital tentu akan meminimalisasi risiko komunikasi dengan penyelenggara layanan.
Kekhawatiran bahwa fleksibilitas akan disalahgunakan oleh penyelenggara layanan untuk menjalin hubungan dengan pengguna layanan pasti akan mengemuka.
Selanjutnya, masih menarik untuk dinanti apakah organisasi pemerintahan yang akan menerapkan pola kerja baru ASN mampu memberikan pengawasan melekat, mendesain seleksi dalam pemberian skema fleksibilitas kerja, serta membangun sistem pengawasan kinerja yang tangguh sebelum Perpres ini diimplementasi. Mari kita awasi bersama.
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/28/07300081/menanti-implementasi-work-from-anywhere-asn
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.