JAKARTA, KOMPAS.com - Upaya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk mengubah masa jabatan dan batas minimal usia hakim MK melalui revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai berpotensi memasung kewenangan lembaga yudikatif secara politik, dalam menjalankan tugasnya menangani perkara sengketa pemilihan umum (Pemilu).
"Bukan tidak mungkin pembahasan undang-undang ini kemudian memasung Mahkamah Konstitusi dalam putusan-putusan MK terkait politik kepemiluan di tahun berikutnya," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari saat dihubungi Kompas.com, Kamis (25/5/2023).
Feri mengatakan, posisi MK sangat penting pada masa Pemilu karena hanya lembaga itu yang berwenang menangani sengketa Pemilu.
"Ini menjelang tahun politik dan Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang sangat menentukan baik buruknya proses tahun politik kepemiluan di 2024," ucap Feri.
Feri menilai langkah DPR dan pemerintah buat merevisi UU MK yang hanya menyoroti persoalan masa jabatan dan batas minimum usia hakim konstitusi tidak menyentuh persoalan inti.
Menurut Feri, MK saat ini sangat membutuhkan pedoman hukum beracara ketimbang merevisi aturan masa jabatan dan batas minimum usia hakim konstitusi.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali.
Revisi pertama adalah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011.
Setelah itu dilakukan revisi kedua melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013. Namun, kemudian dibatalkan karena membatasi kewenangan MK.
Ketiga adalah revisi UU MK melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020.
Isu yang mengemuka dalam 3 revisi UU itu hanya berkutat pada persoalan usia minimum, masa jabatan hakim MK, hingga kode etik.
Perubahan masa jabatan hakim MK dari setiap revisi itu juga mulai dari 5 tahun, 10 tahun, lalu diubah menjadi 15 tahun.
Kini DPR dan pemerintah justru hendak kembali mengubah masa jabatan seorang hakim MK kembali menjadi 10 tahun dalam satu kali periode.
Menurut anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, salah satu poin yang dibahas dalam Rapat Panja itu adalah tentang masa jabatan hakim konstitusi, yang sebelumnya mencapai 15 tahun dan diusulkan dipangkas menjadi 10 tahun.
Dalam rapat itu, kata Arsul, pemerintah turut menyepakati poin masa jabatan hakim MK.
Selain itu, kata Arsul, dalam Rapat Panja itu juga diusulkan supaya batas usia minimal hakim MK ditetapkan 60 tahun.
"Kalau soal batas usia minimal 60 tahunnya, pemerintah sudah sepakat, sudah setuju," kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu.
Menurut dia, DPR memang mengusulkan agar usia minimal hakim MK yang sebelumnya 55 tahun menjadi 60 tahun.
Akan tetapi, Arsul mengatakan bahwa DPR dan pemerintah belum menemukan kata sepakat soal ketentuan peralihan bagi hakim-hakim MK yang belum mencapai usia 60 tahun.
"Nah itu yang tadi masing-masing fraksi menyampaikan usulan, dan kemudian pemerintah juga menyampaikan usulan, yang itu nanti pemerintah akan dibawa dikonsultasikan dengan Menkopolhukam dan Menkumham karena tadi yang datang kan Deputi Pak Menkopolhukam sama Dirjen Perundang-undangan," tutur Waketum PPP ini.
(Penulis : Nicholas Ryan Aditya | Editor : Icha Rastika)
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/25/20121601/kewenangan-mk-dalam-sengketa-pemilu-rentan-dibatasi-lewat-revisi-uu