Salin Artikel

Usul Revisi UU MK Dinilai Sarat Motif Politik Ketimbang Kajian Ilmiah

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai aroma politis dalam usulan revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang disepakati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sangat kentara.

Menurut Feri, usulan DPR yang disepakati pemerintah untuk memangkas masa jabatan hakim MK dari 15 tahun menjadi 10 tahun bukan hal yang utama. Begitu juga dengan usulan perubahan batas usia minimum hakim MK dari 55 tahun menjadi 60 tahun.

"Bahkan perubahan 15 tahun itu baru beberapa tahun belakangan. dan sekarang mau diubah lagi. Artinya perubahan ini tidak memiliki landasan apapun secara ilmiah dibandingkan alasan politik terkait pemilu tahun depan," kata Feri saat dihubungi Kompas.com, Kamis (25/5/2023).

Feri menilai usulan perubahan masa jabatan hakim MK dari 15 tahun menjadi 10 tahun menunjukkan DPR dan pemerintah tidak membuat kajian yang memadai guna melakukan revisi UU MK.

"Jika disimak perubahan-perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pada dasarnya perubahan soal masa jabatan itu sudah berlangsung," ujar Feri.

"Dari 5 tahun, 10 tahun (2 kali periode), lalu diubah menjadi 15 tahun, dan sekarang mau diubah lagi 10 tahun satu kali periode. Ini kan menunjukkan perubahan-perubahan sebelumnya tidak dikaji dengan layak," sambung Feri.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali.

Revisi pertama adalah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011.

Setelah itu dilakukan revisi kedua melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013. Namun, kemudian dibatalkan karena membatasi kewenangan MK.

Ketiga adalah revisi UU MK melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020.

Isu yang mengemuka dalam 3 revisi UU itu hanya berkutat pada persoalan usia minimum, masa jabatan hakim MK, hingga kode etik.

Perubahan masa jabatan hakim MK dari setiap revisi itu juga mulai dari 5 tahun, 10 tahun, lalu diubah menjadi 15 tahun.

Kini DPR dan pemerintah justru hendak kembali mengubah masa jabatan seorang hakim MK kembali menjadi 10 tahun dalam satu kali periode.

Menurut anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, salah satu poin yang dibahas dalam Rapat Panja itu adalah tentang masa jabatan hakim konstitusi, yang sebelumnya mencapai 15 tahun dan diusulkan dipangkas menjadi 10 tahun.

Dalam rapat itu, kata Arsul, pemerintah turut menyepakati poin masa jabatan hakim MK.

Selain itu, kata Arsul, dalam Rapat Panja itu juga diusulkan supaya batas usia minimal hakim MK ditetapkan 60 tahun.

"Kalau soal batas usia minimal 60 tahunnya, pemerintah sudah sepakat, sudah setuju," kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Menurut dia, DPR memang mengusulkan agar usia minimal hakim MK yang sebelumnya 55 tahun menjadi 60 tahun.

Akan tetapi, Arsul mengatakan bahwa DPR dan pemerintah belum menemukan kata sepakat soal ketentuan peralihan bagi hakim-hakim MK yang belum mencapai usia 60 tahun.

"Nah itu yang tadi masing-masing fraksi menyampaikan usulan, dan kemudian pemerintah juga menyampaikan usulan, yang itu nanti pemerintah akan dibawa dikonsultasikan dengan Menkopolhukam dan Menkumham karena tadi yang datang kan Deputi Pak Menkopolhukam sama Dirjen Perundang-undangan," tutur Waketum PPP ini.

(Penulis : Nicholas Ryan Aditya | Editor : Icha Rastika)

https://nasional.kompas.com/read/2023/05/25/20025721/usul-revisi-uu-mk-dinilai-sarat-motif-politik-ketimbang-kajian-ilmiah

Terkini Lainnya

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke