JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berharap pemerintah meminta pertanggungjawaban secara hukum terhadap para pelaku aksi kekerasan, pemerkosaan, dan pembakaran dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998 silam.
“Para pelaku kekerasan, pemerkosaan dan pembakaran selama kerusuhan tersebut harus bertanggung jawab atas tindakan mereka," kata Usman melalui keterangan pers yang dikutip pada Selasa (16/5/2023).
Usman mengatakan, pemerintah sudah mengakui terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998. Maka dari itu dia berharap pemerintah serius mengusut tuntas kasus itu dan menemukan para pelaku untuk kemudian diadili.
Menurut Usman, kasus itu menimbulkan dampak serius terhadap korban dan warga masyarakat secara luas dengan memakan korban lebih dari seribu jiwa.
Selain itu, kekerasan seksual yang sebagian besar ditujukan terhadap perempuan Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998 tidak hanya melanggar hak-hak mereka untuk kebebasan dan integritas fisik, tetapi juga merusak martabat mereka secara emosional dan psikologis.
"Gagalnya negara mengusut tuntas kasus ini akan memperkuat ketidakadilan dan memberikan sinyal negatif bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat dilakukan tanpa konsekuensi," ujar Usman.
"Ini tidak hanya melanggar hak setiap warga untuk hidup dengan aman, tetapi juga menciptakan iklim ketakutan dan trauma yang berkepanjangan terutama warga Tionghoa," sambung Usman.
Usman menyampaikan, hasil temuan tim gabungan pencari fakta (TGPF) saat itu menunjukkan peristiwa kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi secara sistematis dan terencana, dan negara juga sudah mengakuinya sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Hal itu disampaikannya setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023). Jokowi menyatakan, sudah membaca secara seksama laporan tersebut.
"Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim PPHAM yang berat yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," ujar Jokowi.
Atas peristiwa itu, Jokowi mengaku menyesalkannya.
Berikut 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui Kepala Negara:
Peristiwa 1965-1966;
Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989;
Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998;
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998;
Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999;
Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999;
Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002;
Peristiwa Wamena, Papua 2003;
Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/16/22572291/pemerintah-diharapkan-seret-pelaku-kekerasan-seksual-kerusuhan-1998-ke