JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan, pemerintah tidak akan meminta maaf atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi pada masa lalu.
Hal tersebut berdasarkan rekomendasi penyelesaian non yudisial untuk pelanggaran HAM berat.
"Di dalam rekomendasi penyelesaian non yudisial itu tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu. Tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/4/2023).
"Jadi tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Yaitu misalnya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap itu berlaku sebagai ketetapan yang tidak dapat diubah," tegasnya.
Selain itu, peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah diputuskan oleh pengadilan juga tetap berlaku.
Sehingga, lanjut Mahfud, pemerintah fokus kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu untuk 12 peristiwa.
"Dan peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut undang-undang (UU) menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM," ungkapnya.
"Dan Komnas HAM merekomendasikan 12 yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Nah saya ingin masyarakat paham perbedaan antara pelanggaran HAM berat dan kejahatan berat," katanya.
Dalam kesempatan itu, Mahfud juga menegaskan bahwa pemerintah tidak mencari pelaku dalam proses penyelesaian non yudisial untuk peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sebab pemerintah sudah memutuskan adanya penyelesaian non yudisial yang lebih menitikberatkan kepada korban.
"Jadi ini titik beratnya pada korban, bukan pada pelaku. Kita tidak akan mencari pelakunya dalam penyelesaian non yudisial ini. Karena itu urusan Komnas HAM dan DPR," tuturnya.
Mahfud menjelaskan, apabila menyangkut pelakunya, maka hal itu berkaitan dengan penyelesaian secara yudisial (hukum).
"Nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah," tegas Mahfud.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Hal itu disampaikannya setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023).
Jokowi menyatakan, sudah membaca secara seksama laporan tersebut.
"Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim PPHAM yang berat yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," ujar Jokowi.
Atas peristiwa itu, Jokowi mengaku menyesalkannya. Berikut 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui Kepala Negara:
1. Peristiwa 1965-1966;
2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989;
5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998;
6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998;
7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999;
8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
9. Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999;
10. Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002;
11. Peristiwa Wamena, Papua 2003;
12. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Terkait hal ini, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pemerintah akan berusaha untuk memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat secara adil dan bijaksana tanpa meniadakan penyelesaiaan secara yudisial.
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/02/15384141/mahfud-tegaskan-pemerintah-tak-akan-minta-maaf-atas-pelanggaran-ham-berat