Salin Artikel

Ketika Partai Politik Masih Tak Lebih dari "Idol Club"...

SURVEI Litbang Kompas yang dilansir secara serial mulai Senin (20/2/2023) hingga Rabu (22/2/2023), menegaskan satu hal, yaitu partai politik saat ini masih tak lebih dari sekadar "idol club".

Prediksi perolehan suara partai politik terlalu rentan bergoyang oleh kandidat yang hendak diusung dalam kontestasi presiden, selain ketergantungan pada figur tertentu yang diasosiasikan dengan partai tersebut. 

"Pada ujung akhirnya, partai hanya jadi 'idol club', tidak ada yang mampu menggerakkan, tidak ada yang berjualan ide," kecam peneliti Institut Riset Indonesia (Insis), Dian Permata, dalam percakapan dengan Kompas.com, Sabtu (25/2/2023).

Tren prediksi perolehan suara jika pemilu digelar pada hari ini, lanjut Dian, tidak bisa dipisahkan dari momentum sosial politik yang bersifat alamiah dan perekayasaan ulang alias reengineering isu sosial politik. 

"Jika sebuah partai politik melakukan blunder politik, imbasnya adalah pada elektabilitas partai politik. Makin besar skala blunderya, imbasnya juga berkepanjangan," ujar Dian.

Blunder itu juga akan mencakup laku personal kader partai. Bakal mengkhawatirkan bagi partai politik, ungkap Dian, ketika blunder ini dikapitalisasi demi keuntungan partai politik tertentu. 

Adapun terkait sebutannya soal "idol club" bagi partai politik, Dian mengurai contoh bahwa hasil Pemilu 1999 tak dapat dipisahkan dari euforia masyarakat yang mengarah pada sosok Megawati Soekarnoputri. Ini yang menjadi mesin utama pendulang suara bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada saat itu.

Hal serupa juga terjadi pada dulangan suara bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Tak dapat dinafikan, kata Dian, perolehan suara PKB pada periode tersebut dipengaruhi karisma Gus Dur, panggilan penghormatan bagi Abdurrahman.

Pada periode berikutnya, ada figur Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat. Setali tiga uang, sosok Prabowo Subianto lekat pada hasil elektoral Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Menjelang Pemilu 2024, lanjut Dian, efek ekor jas—teori tentang hasil elektoral yang naik karena faktor figur—masih akan berlanjut. Selain dari sosok sentral di partai politik, figur yang diperkirakan berperan besar mendulang suara adalah kandidat yang diusung untuk kontestasi presiden.

Namun, tiga nama yang kini memuncaki prediksi elektabilitas bila pemilu digelar hari ini masih menyisipkan banyak catatan. Dian memberi contoh catatan untuk tiga kandidat dengan elektabilitas tertinggi berdasarkan hasil survei terkini Litbang Kompas.

Ganjar Pranowo, misalnya, saat ini punya mesin kekuasaan, mesin politik, dan mesin opini yang masih melekat. Dia masih menjadi Gubernur Jawa Tengah, berada di lingkaran PDI-P, yang keduanya dapat dipakai sekaligus sebagai mesin opini untuk mendulang citra melalui pemberitaan media massa.

Namun, lanjut Dian, Ganjar bukan tanpa persoalan. 

"Dia kuat didukung di level voters tetapi tidak di lingkaran elite (partainya)," sebut Dian.

Lalu, Anies Baswedan, menurut Dian sudah tak lagi punya mesin kekuasaan selepas jabatannya usai sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dia juga tidak cukup memiliki mesin opini, termasuk ketiadaan basis partai politik organik.

"Anies harus bisa melakukan akrobat politik. Tujuannya agar mendapat public expose dari media massa," ujar Dian.

Cara akrobat itu, sebut Dian, termasuk kabar pinangan partai politik dan pendeklarasian dirinya menjadi bakal calon presiden yang diusung partai tertentu. 

Berikutnya, Prabowo Subianto, sebenarnya punya mesin kekuasaan, mesin politik, dan mesin opini. Dia adalah Menteri Pertahanan, Ketua Umum Partai Gerindra, dan opini bisa dikapitalisasi dari kedua jabatan tersebut.

Meski begitu, tren elektabilitas Prabowo cenderung menurun terkait pencalonan kontestasi presiden, berbanding terbalik dengan masa awal proses pencalonan. Walaupun, kata Dian, elektabilitas masih bisa rebound ketika tahapan kampanye calon presiden sudah dimulai, bila memang dia kembali maju menjadi calon presiden untuk kali kesekian.

Bagi tiga besar kandidat berdasarkan survei Litbang Kompas ini, basis pemilih kuat sudah bisa dipetakan. Namun, angka-angkanya baru akan semakin terkonsolidasi setelah ada pasangan bagi pencalonan mereka, bila benar mereka yang akan diusung dalam kontestasi presiden.

"Elektabilitas ketiganya akan terkoreksi atau naik ketika sudah masuk tahapan disahkan menjadi peserta pemilu lalu saat memiliki pasangan dalam pencalonan," tegas Dian.

Pertanyaannya kemudian, apakah mereka benar-benar akan diusung menjadi bakal calon presiden atau bakal calon wakil presiden?

Bagi partai politik, selama tidak ada perubahan signifikan dalam paradigma perpartaian politik nasional, kandidat di Pemilu Presiden juga berkorelasi dengan perolehan suara untuk kursi parlemen.

Di luar tiga besar kandidat ini masih ada nama-nama lain yang disebut dan mungkin saja benar-benar siap bertarung pula menjadi bakal calon presiden atau bakal calon wakil presiden.

Sebut saja di antaranya ada Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono, Muhaimin Iskandar, dan Airlanga Hartarto. 

Kecuali, partai politik mau dan benar-benar bergerak memikirkan langkah antisipatif di luar kebergantungan pada "idol club" untuk mendulang suara. 

"Terutama bagi PDI-P, Gerindra, dan Nasdem yang tengah memasuki estafet kepemimpinan," sebut Dian. 

Dian menyarankan perlunya ide original berdasarkan DNA partai sebagai langkah antisipatif itu. Bila ini bisa terwujud, dia berkeyakinan partai politik juga tidak akan mengalami stall—meminjam istilah di penerbangan—ketika terjadi turbulence pergantian tokoh sentralnya.

"Meminjam istilah di dunia penerbangan, kondisi stall bisa saja terjadi di partai politik," tegas Dian.

Saat terjadi persoalan serius pada partai politik yang ibarat pesawat terbang ketika melayang di udara dalam kontestasi elektoral, parta politik bisa kehilangan daya angkat pada waktu elektabilitasnya jeblok. Kondisi ini yang menyerupai stall, yaitu ketika pesawat jatuh menghunjam tegak lurus.

Namun, Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Hari Wibowo, berpendapat, elektabilitas partai politik tidak sesederhana survei. Bagi partai yang digambarkan tren elektabilitasnya terus merosot dari waktu ke waktu ini, dulangan suara tak melulu pula mengandalkan kandidat capres.

"Ada faktor lapangan yang sering tidak tertangkap survei," tegas Dradjad dalam perbincangan dengan Kompas.com, Kamis (23/2/2023).

Dradjad pun berkeyakinan perolehan suara partainya pada Pemilu 2024 tak akan terjun bebas dibanding perolehan suara pada Pemilu 2019, tidak seperti proyeksi yang tergambar dalam survei terkini Litbang Kompas.

Apakah partai politik masih punya taji untuk menjadi kendaraan politik bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat? Atau partai politik hanya milik segelintir orang pengejar kekuasaan? Kita, para pemilih, yang harus menentukannya pada Pemilu 2024.

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

https://nasional.kompas.com/read/2023/02/26/22312091/ketika-partai-politik-masih-tak-lebih-dari-idol-club

Terkini Lainnya

Kasus BTS 4G, Eks Anggota BPK Achsanul Qosasi Dituntut 5 Tahun Penjara dan Denda Rp 500 Juta

Kasus BTS 4G, Eks Anggota BPK Achsanul Qosasi Dituntut 5 Tahun Penjara dan Denda Rp 500 Juta

Nasional
Kemensos Gelar Baksos di Sumba Timur, Sasar ODGJ, Penyandag Kusta dan Katarak, hingga Disabilitas

Kemensos Gelar Baksos di Sumba Timur, Sasar ODGJ, Penyandag Kusta dan Katarak, hingga Disabilitas

Nasional
Nadiem Tegaskan Kenaikan UKT Hanya Berlaku Bagi Mahasiswa Baru

Nadiem Tegaskan Kenaikan UKT Hanya Berlaku Bagi Mahasiswa Baru

Nasional
Eks Penyidik Sebut Nurul Ghufron Seharusnya Malu dan Mengundurkan Diri

Eks Penyidik Sebut Nurul Ghufron Seharusnya Malu dan Mengundurkan Diri

Nasional
Jokowi dan Iriana Bagikan Makan Siang untuk Anak-anak Pengungsi Korban Banjir Bandang Sumbar

Jokowi dan Iriana Bagikan Makan Siang untuk Anak-anak Pengungsi Korban Banjir Bandang Sumbar

Nasional
Prabowo Beri Atensi Sektor Industri untuk Generasi Z yang Sulit Cari Kerja

Prabowo Beri Atensi Sektor Industri untuk Generasi Z yang Sulit Cari Kerja

Nasional
Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Nasional
Menaker Ida Paparkan 3 Tujuan Evaluasi Pelaksanaan Program Desmigratif

Menaker Ida Paparkan 3 Tujuan Evaluasi Pelaksanaan Program Desmigratif

Nasional
ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

Nasional
Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Nasional
Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Nasional
Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat 'Geo Crybernetic'

Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat "Geo Crybernetic"

Nasional
Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Nasional
ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke