JAKARTA, KOMPAS.com - Nota pembelaan atau pleidoi yang disampaikan terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Ferdy Sambo, dinilai tidak mencerminkan sikapnya untuk menyesali perbuatannya terkait perkara itu.
Hal itu disampaikan psikolog forensik Reza Indragiri Amriel dalam analisis soal nota pembelaan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri itu.
"Itu semua memunculkan tafsiran bahwa FS (Ferdy Sambo) tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatannya, melainkan menyesali proses penegakan hukum dan penyikapan publik," kata Reza dalam keterangannya seperti dikutip Kompas.com, Rabu (25/1/2023).
Reza mengatakan, dari analisis psikologi terhadap nota pembelaan itu dia melihat sejak awal Ferdy Sambo memperkuat kesan sikap agresif ofensif terkait pandangan orang lain terhadapnya dalam kasus itu. Namun, kata Reza, Sambo tetap mengemas sikap agresif itu dengan bahasa yang terkesan rendah hati.
Selain itu, kata Reza, uraian Ferdy Sambo terhadap kronologi peristiwa pembunuhan terhadap Yosua tidak terlampau penting karena bisa diwakilkan oleh tim penasihat hukum.
"Nota pembelaan semestinya memuat pesan dan tata kalimat yang lebih personal, tidak repetitif dan tumpang tindih dengan kalimat-kalimat formal dalam nota pembelaan penasihat hukum," ucap Reza.
Dalam nota pembelaan itu, Reza juga menilai Sambo memposisikan dirinya berhadapan dengan masyarakat karena merasa diadili sebelum putusan hakim dan dianggap bak penjahat terbesar di dunia.
"Konsisten sebagaimana di awal, di akhir pun FS menegaskan betapa ia berhadap-hadapan dengan masyarakat," ujar Reza.
Di dalam nota pembelaan itu Ferdy Sambo tetap menyatakan pemicu pembunuhan itu adalah dugaan pelecehan seksual terhadap istrinya, Putri Candrawathi, yang diduga dilakukan mendiang Yosua.
Selain itu, Sambo dalam pledoi turut menyampaikan permintaan maaf kepada anak dan istrinya, serta mantan ajudannya yang juga terseret dalam kasus itu, yakni Bripka Ricky Rizal Wibowo (Bripka RR), serta seorang asisten rumah tangga Kuat Ma'ruf.
Dalam kasus itu terdapat 5 terdakwa yang sudah menjalani sidang tuntutan. Mereka adalah Richard Eliezer (Bharada E) Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf.
Dalam tuntutannya, jaksa menilai kelima terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Brigadir J yang direncanakan terlebih dahulu.
Kelimanya dinilai melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.
Kuat Ma'ruf, menjadi terdakwa pertama yang menjalani sidang tuntutan pada Senin (16/1/2023). Kemudian, ia dituntut pidana penjara 8 tahun.
Setelah itu, Ricky Rizal yang menjalani sidang tuntutan. Eks ajudan Ferdy Sambo berpangkat Brigadir Polisi Kepala (Bripka) itu dituntut pidana penjara 8 tahun.
Selang sehari, atau Selasa (17/1/2023), sidang tuntutan dengan terdakwa Ferdy Sambo digelar.
Eks Kadiv Propam Polri itu dituntut hukuman pidana penjara seumur hidup.
Berikutnya, Putri Candrawathi dan Richard Eliezer yang menjalani sidang tuntutan pada Rabu (18/1/2023). Istri Ferdy Sambo dituntut pidana penjara 8 tahun.
Sementara, eks ajudan mantan Kadiv Propam Polri dari satuan Brimob berpangkat Bhayangkara Dua (Bharada), Richard Eliezer dituntut pidana penjara 12 tahun penjara oleh JPU.
Dalam surat tuntutan disebutkan, pembunuhan itu dilatarbelakangi oleh pernyataan Putri Candrawathi yang mengaku telah dilecehkan oleh Brigadir J di rumah Ferdy Sambo di Magelang, Jawa Tengah, Kamis (7/7/2022).
Pengakuan yang belum diketahui kebenarannya itu lantas membuat eks polisi berpangkat inspektur jenderal (irjen) itu marah hingga menyusun strategi untuk membunuh Brigadir J.
Awalnya, Ferdy Sambo menyuruh Ricky Rizal menembak Brigadir J. Namun, Bripka RR menolak sehingga Sambo beralih memerintahkan Richard Eliezer.
Brigadir J tewas dieksekusi dengan cara ditembak 2-3 kali oleh Bharada E di rumah dinas Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022).
Setelahnya eks ajudannya itu tak bernyawa, Ferdy Sambo disebut menembak kepala belakang Brigadir J hingga korban tewas.
Mantan perwira tinggi Polri itu lantas menembakkan pistol milik Brigadir J ke dinding-dinding rumah untuk menciptakan narasi tembak menembak antara Brigadir J dan Bharada E yang berujung pada tewasnya Brigadir J.
https://nasional.kompas.com/read/2023/01/25/17504791/ferdy-sambo-dinilai-tidak-menyesali-perbuatan-dalam-nota-pembelaan
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan