Salin Artikel

Pengamat Sebut Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Lewat Pengadilan Harus Jadi Prioritas

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf menilai pemerintah seharusnya mengutamakan penyelesaian berbagai kasus dugaan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia melalui jalur yudisial atau pengadilan.

Dia menyampaikan hal itu menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara, Jakarta.

"Pemerintah harusnya fokus untuk menyelasaikan kasus dugaan pelanggaran HAM melalui jalur yudisial terlebih dahulu, sehingga setelah itu jalan non-yudisialnya bisa dilakukan," kata Al Araf saat dihubungi Kompas.com, Rabu (11/1/2023).

Menurut Al Araf, penyelesaian sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM penting dilakukan sebagai wujud niat baik pemerintah buat memberi jalan keluar persoalan yang sudah bertahun-tahun terkendala.

"Atau paling tidak pemerintah berbarengan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM antara yudisial dan non-yudisial," ujar Al Araf.

Menurut Al Araf, proses pengadilan dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM sangat penting buat meraih keadilan bagi korban dan orang-orang yang terdampak.

"Proses peradilan itu merupakan keharusan dalam negara hukum di mana semua kejahatan yang terjadi harus diungkap dan diadili dalam proses hukum yang tersedia, termasuk kasus pelanggaran HAM," ucap Al Araf.

Menurut Al Araf, selama ini Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah melakukan investigasi dan mengumpulkan banyak bukti berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat.

"Hanya terkendala dari lemahnya kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan jalan yudisial ini," kata Al Araf.

"Dengan pikiran jernih dan hati yang tulis sebagai Kepala Negara saya mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di masa lalu," kata Jokowi setelah membaca laporan Tim PPHAM.

Presiden pun mengaku sangat menyesali terjadinya pelanggaran HAM berat pada sejumlah peristiwa. Kepala Negara lalu menyebutkan 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, sebagai berikut:

  1. Peristiwa 1965-1966
  2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
  3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989
  4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989
  5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
  6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
  7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999
  8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
  9. Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999
  10. Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002
  11. Peristiwa Wamena, Papua 2003
  12. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

"Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Oleh karena itu, yang pertama, saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial," kata Jokowi.

"Yang kedua, saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang," ujarnya lagi.

Selain itu, Presiden Jokowi juga meminta kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar kedua rencana tersebut bisa terlaksana dengan baik.

"Semoga upaya ini menjadi langkah yang berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam negara kesatuan Republik Indonesia," kata Jokowi.

(Penulis : Dian Erika Nugraheny | Editor : Novianti Setuningsih)

https://nasional.kompas.com/read/2023/01/11/17481701/pengamat-sebut-penyelesaian-pelanggaran-ham-berat-lewat-pengadilan-harus

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke