Sebanyak delapan partai politik (parpol) secara terbuka mengumumkan penolakan wacana tersebut diterapkan pada Pemilu 2024.
Kedelapan parpol itu meliputi, Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Di sisi lain, bergaungnya isu sistem proporsional tertutup membuka jalan bersama bagi parpol pemerintah dan oposisi untuk bersatu padu menolak wacana tersebut.
PKS dan Demokrat yang notabene kelompok opisisi mempunyai sikap yang sama dengan enam parpol pemerintah, yakni sama-sama menolak wacana sistem proporsional tertutup direalisasikan.
Mereka mempunyai kekhawatiran yang sama apabila sistem proporsional tertutup tetap diterapkan, yaitu mundurnya demokrasi Indonesia.
Duduk permasalahan
Bergulirnya isu sistem proporsional tertutup agar diterapkan pada Pemilu 2024 bermula dari langkah enam orang yang mengajukan gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan ini telah teregistrasi di MK dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022.
Keenam penggugat, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Para pemohon mengajukan gugatan atas Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017.
Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Dari gugatan ini pula, para pemohon meminta MK mengganti sistem proporsional terbuka yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan telah menimbulkan masalah multidimensi seperti politik uang.
Untuk itu, para pemohon menginginkan MK dapat mengganti sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup.
Desas-desus penggugat
Seiring berjalannya waktu, muncul desas-desus bahwa para penggugat masih bagian dari parpol tertentu.
Salah satunya, yakni Yuwono Pintadi sebagai pemohon II. Belakangan muncul angin kabar bahwa Yuwono Pintadi diduga merupakan kader Nasdem.
Akan tetapi, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Nasdem Willy Aditya langsung cepat membantah bahwa Yuwono Pintadi saat ini bukan lagi kader Nasdem.
Status keanggotaan Yuwono Pintadi di Nasdem disebut sudah berakhir sejak 2019.
Atas dasar itulah, Willy menilai, gugatan atas nama Yuwono Pintadi sifatnya pribadi, bukan mengatasnamakan Nasdem.
"Jika ada hal-hal strategis dan politis secara garis partai sudah jelas, kami menolak sistem pemilu proporsional tertutup. Oleh karenanya, jika ada orang yang mencatut Partai Nasdem atas kepentingan tertentu, jelas ini melanggar kebijakan partai," ujar Willy dalam keterangan tertulis, Sabtu (31/12/2022).
Selain Yuwono Pintadi yang belakangan telah dihubungkan dengan Nasdem, ada nama lain yang diduga merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yakni Demas Brian Wicaksono sebagai pemohon I.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto hanya menyatakan bahwa pihaknya tidak memiliki legal standing untuk mengajukan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 ke MK.
“Kami tidak punya legal standing untuk melakukan judicial review karena partai punya fraksi yang membuat undang-undang di DPR RI,” kata Hasto saat ditemui awak media di kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, Minggu (8/1/2023).
Hasto juga menjelaskan, Kongres PDI-P telah memutuskan bahwa sistem pemilu dilakukan secara proporsional tertutup.
Dalam pandangannya, sejauh ini, sistem proporsional terbuka membutuhkan biaya yang tak sedikit.
Karena tingginya biaya politik dalam sistem proporsional terbuka, Hasto menyebut banyak pihak yang menyatakan tidak sanggup.??Meski demikian, Hasto memastikan, PDI-P akan taat terhadap apapun keputusan MK mengenai uji materi tersebut.
“Kami menghormati apapun yang akan diputuskan MK,” kata Hasto.
Kemunduran demokrasi
Seiring dengan semakin kencangnya isu sistem proporsional tertutup diwacanakan, delapan parpol pun tegas menolaknya.
Penolakan ini tak lepas karena sistem tersebut dianggap akan membawa kemunduran bagi demokrasi Indonesia.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyatakan, sistem proporsional terbuka yang telah dijalankan sejak Pemilu 2004 merupakan salah satu wujud demokrasi Indonesia.
??“Di mana rakyat dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik, kami tidak ingin demokrasi mundur!” tegas Airlangga saat menyampaikan sikap penolakan bersama beberapa parpol lain di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Jakarta, Minggu (8/1/2023).
Sementara itu, Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut wacan penggantian sistem proporsional terbuka ke tertutup tak ubahnya seperti membeli kucing dalam karung.
Menurutnya, sistem proporsional tertutup justru akan merampas hak rakyat dalam memilih calon anggota legislatif.
Sebab, pemilih hanya bisa mencoblos parpol dan tak bisa memilih calon anggota legislatif yang akan duduk di parlemen.
"Jangan sampai ada hak rakyat dalam demokrasi ini yang dirampas," ujar AHY di tempat yang sama.
"Jika terjadi sistem pemilu tertutup, maka rakyat tidak bisa memilih secara langsung wakil-wakil rakyatnya. Padahal kita ingin semua menggunakan haknya dan tidak seperti membeli kucing dalam karung," tegas AHY.
Pemerintah tak akan bersikap
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, pemerintah tak akan bersikap apa pun atas pertemuan itu.
Mahfud menyatakan, pemerintah tidak boleh bersikap karena pertemuan itu diinisiasi oleh partpol, bukan pemerintah.
Apalagi, saat ini, proses judicial review di MK masih berlangsung.
Mahfud menegaskan, MK yang berwenang memutuskan apakah pemilu selanjutnya tetap digelar dengan sistem proporsional terbuka, atau diubah ke sistem proporsional tertutup.
"Enggak boleh bersikap, kenapa? Karena partai itu yang menentukan pilihannya sendiri dan MK (Mahkamah Konstitusi) yang memutuskan," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Minggu kemarin.
Bersatu padu
Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam menangkap fenoma di balik bergulirnya isu sistem proporsional tertutup.
Ia mengatakan, isu tersebut telah membawa parpol pemerintah dan oposisi mengkonsolidasikan kekuatan untuk bersatu padu melawan pendukung sistem proporsional tertutup.
Umam menyebut penolakan tersebut menandakan bahwa kedelapan parpol ini telah menabuh perlawanan secara terbuka atas pihak-pihak yang mewacanakan sistem proporsional tertutup diterapkan.
"Langkah delapan Fraksi di Senayan yang kompak menolak pelaksanaan sistem proporsional tertutup merupakan bentuk perlawanan terbuka terhadap operasi pengembalian sistem kekuasaan yang sentralistik," ujar Umam kepada Kompas.com, Senin (9/1/2023).
Di sisi lain, Umam menuturkan, independensi MK dan soliditas delapan parpol tersebut menjadi pertaruhan.
"Jika putusan MK bisa dibajak oleh selera kekuasaan, lalu putusan MK keluar pada Februari 2023 misalnya, maka hal itu akan mengacaukan semua tahapan, persiapan dan strategi internal partai-partai politik menuju Pemilu 2024," terang dia.
https://nasional.kompas.com/read/2023/01/09/11560561/saat-partai-pemerintah-dan-oposisi-bersatu-padu-tolak-sistem-proporsional