Salin Artikel

Eks Anggota KPU Harap MK Tak Kabulkan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup

"Lebih baik tidak usah seperti itu. MK tidak mengabulkan permohonan ini. Karena sistem tertutup ini justru bisa mudah kita lihat sebagai sistem yang tidak sesuai dengan konstitusi kita," kata Hadar ditemui di kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Senin (2/1/2023).

Dalam sistem proporsional terbuka yang diterapkan di Indonesia sejak 2009, pemilih dapat mencoblos partai politik atau nama calon anggota legislatif yang diharapkan duduk di parlemen.

Sementara itu, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai politik yang kelak berwenang menentukan anggota legislatif yang berhak duduk di parlemen.

"Kursi itu diisi oleh siapa? Diisi oleh urutan yang sudah dibuat oleh parpol. Sayangnya seringkali urutan yang dibuat itu tidak dibuat secara demokratis dengan ukuran yang jelas, dan kita juga sering dengar urutan itu dibuat juga dengan melibatkan uang, pengaruh oligarkis di dalam parpol, ditentukan elite-elitenya dalam parpol," jelas Hadar.

Hal ini membuat para anggota legislatif yang terpilih bukan merupakan sosok yang dekat dengan pemilihnya. Mereka juga dikhawatirkan tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap daerah pemilihan (dapil) yang jadi konstituan mereka karena mereka dipilih oleh parpol.

"Padahal di konsitusi kita dikatakan kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di tangan parpol. Parpol kan mencalonkan saja," ujarnya.

Kedekatan antara pemilih dan terpilih ini dinilai krusial karena anggota legislatif perlu memperjuangkan apa yang ia janjikan terhadap masyarakat dan memastikan bakal kerja dengan benar.

Ini akan menimbulkan simbiosis mutualisme di mana timbul kepercayaan dari pemilih untuk memilihnya kembali di pemilu edisi berikutnya.

"Hubungan itu susah atau sulit bisa diciptakan dengan sistem yang tertutup," ungkap Hadar.

Sebelumnya, wacana soal sistem pemilu proporsional terbuka dan proporsional tertutup mengemuka setelah Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengungkap bahwa para politikus sebaiknya tidak mendaku diri sebagai "caleg".

Selain karena masa kampanye belum dimulai, judicial review atas sistem pemilu yang tengah bergulir di MK juga menjadi alasan.

Menurut Hasyim, seandainya MK mengabulkan sistem pemilu proporsional tertutup, maka upaya para "caleg" itu sia-sia.

Ide MPR

Namun demikian, jauh sebelum Hasyim, politikus PDI-P sekaligus Ketua Badan Pengkajian MPR RI Djarot Syaiful Hidayat telah membawa wacana ini.

Dalam lawatannya ke kantor KPU RI pada September 2022, eks Gubernur DKI Jakarta itu menyinggung soal mahalnya biaya politik dan kaitannya dengan korupsi para anggota dewan akibat sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini.

"Pemilu di Indonesia itu sangat mahal, biaya dari APBN itu mungkin dari Rp 100 triliun untuk KPU dan Bawaslu. Sekarang coba kita hitung biaya yang dikeluarkan oleh kandidat, itu pasti lebih dari itu," ujar Djarot kepada wartawan di kantor KPU RI, Rabu (21/9/2022).

Djarot menilai, sistem proporsional tertutup juga bakal menciptakan persaingan yang lebih adil kepada para calon anggota legislatif.

"Tidak ada lagi pertarungan antarcalon, mereka-mereka yang sekarang mengurusi partai luar biasa, berkorban luar biasa, kemudian pada saat pencalonan itu kalah sama orang baru yang membawa duit karena amplopnya lebih tebal, ini tidak fair," ujar politikus PDI-P itu.

"Maka kita dorong supaya kajian ini kita kembali ke sistem proposional yang murni, yang tertutup," imbuh dia.

Di sisi lain, ia juga mengungkit bahwa kerja KPU RI akan lebih efisien dengan sistem proporsional tertutup, karena format suara akan jauh lebih sederhana dengan hanya menampilkan lambang partai politik, tanpa harus mencetak daftar nama caleg di setiap dapil.

"Kami juga amat terkejut dengan sistem seperti ini, maka format suaranya KPU akan mencetak ada 2.593 model jenis berbeda-beda. Bayangkan, apa enggak pusing dengan waktu yang sangat singkat, di seluruh dapil," pungkasnya.

Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) sebelumnya sudah mengkritik dalih efisiensi di balik mengemukanya kembali wacana pemilihan legislatif (pileg) dengan sistem proporsional tertutup.

Direktur Eksekutif Puskapol UI Hurriyah menganggap argumen soal efisiensi ini sebagai "argumen malas" dan "jalan pintas" atas permasalahan yang rumit.

"Argumen utamanya efisiensi anggaran, efisiensi kerja enggak juga. Kalau yang dikejar hanya efisiensi, saya mau bilang gini, pemerintahan yang paling efisien adalah yang paling otoriter karena jalurnya tidak panjang," kata Hurriyah kepada Kompas.com, Jumat (23/9/2022).

" Tapi demokrasi kan tidak bicara melulu soal efisiensi. Esensi demokrasi adalah rakyat punya daulat, di mana masyarakat punya kuasa memilih representasinya secara langsung," jelasnya.

Hurriyah menambahkan, demokrasi tidak bicara soal efisien atau tidak efisien.

Dibandingkan sistem pemerintahan lain, demokrasi justru mungkin menjadi sistem yang paling tidak efisien.

"Demokrasi memang mahal, tetapi demokrasi terbukti menjadi sistem yang terbaik di antara pilihan yang buruk," ujarnya.

https://nasional.kompas.com/read/2023/01/02/22484921/eks-anggota-kpu-harap-mk-tak-kabulkan-sistem-pemilu-proporsional-tertutup

Terkini Lainnya

Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Nasional
Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Nasional
Serba-serbi Isu Anies pada Pilkada DKI: Antara Jadi 'King Maker' atau Maju Lagi

Serba-serbi Isu Anies pada Pilkada DKI: Antara Jadi "King Maker" atau Maju Lagi

Nasional
Diresmikan Presiden Jokowi, IDTH Jadi Laboratorium Pengujian Perangkat Digital Terbesar dan Terlengkap Se-Asia Tenggara

Diresmikan Presiden Jokowi, IDTH Jadi Laboratorium Pengujian Perangkat Digital Terbesar dan Terlengkap Se-Asia Tenggara

Nasional
Hujan Lebat yang Bawa Material Vulkanis Gunung Marapi Perparah Banjir di Sebagian Sumbar

Hujan Lebat yang Bawa Material Vulkanis Gunung Marapi Perparah Banjir di Sebagian Sumbar

Nasional
Pemerintah Saudi Tambah Layanan 'Fast Track' Jemaah Haji Indonesia

Pemerintah Saudi Tambah Layanan "Fast Track" Jemaah Haji Indonesia

Nasional
Banjir Luluh Lantakkan Sebagian Sumatera Barat, Lebih dari 40 Orang Tewas

Banjir Luluh Lantakkan Sebagian Sumatera Barat, Lebih dari 40 Orang Tewas

Nasional
Berkaca Kecelakaan di Ciater, Polisi Imbau Masyarakat Cek Dulu Izin dan Kondisi Bus Pariwisata

Berkaca Kecelakaan di Ciater, Polisi Imbau Masyarakat Cek Dulu Izin dan Kondisi Bus Pariwisata

Nasional
Dugaan SYL Memeras Anak Buah dan Upaya KPK Hadirkan 3 Dirjen Kementan Jadi Saksi

Dugaan SYL Memeras Anak Buah dan Upaya KPK Hadirkan 3 Dirjen Kementan Jadi Saksi

Nasional
Jokowi Santap Nasi Goreng dan Sapa Warga di Sultra

Jokowi Santap Nasi Goreng dan Sapa Warga di Sultra

Nasional
Prabowo Klaim Serasa Kubu 'Petahana' Saat Pilpres dan Terbantu Gibran

Prabowo Klaim Serasa Kubu "Petahana" Saat Pilpres dan Terbantu Gibran

Nasional
Prabowo Mengaku Diuntungkan 'Efek Jokowi' dalam Menangi Pilpres

Prabowo Mengaku Diuntungkan "Efek Jokowi" dalam Menangi Pilpres

Nasional
Bantah Menangi Pilpres akibat Bansos, Prabowo: Tuduhan Kosong

Bantah Menangi Pilpres akibat Bansos, Prabowo: Tuduhan Kosong

Nasional
[POPULER NASIONAL] Reaksi Usai Prabowo Tak Mau Pemerintahannya Diganggu | Auditor BPK Minta 'Uang Pelicin' ke Kementan

[POPULER NASIONAL] Reaksi Usai Prabowo Tak Mau Pemerintahannya Diganggu | Auditor BPK Minta "Uang Pelicin" ke Kementan

Nasional
Sejarah Hari Buku Nasional

Sejarah Hari Buku Nasional

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke