Hal itu disampaikannya saat memberikan hasil temuan Tim Pencari Fakta (TPF) BPKN pada Komisi VI DPR, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (15/12/2022).
“Sehingga, di dua minggu pertama di bulan Oktober terjadi kesimpangsiuran, dan terjadi kegamangan di ruang-ruang publik,” ujar Rizal.
Temuan yang lain, para korban belum mendapatkan kompensasi sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
“Belum ada mekanisme ganti rugi dari industri farmasi kepada korban,” katanya.
Rizal juga mengungkapkan bahwa TPF BPKN menemukan adanya kelalaian dari instansi pemerintah di sektor farmasi.
“(Kelalaian) dalam pengawasan peredaran bahan baku dan produk obat,” ujarnya.
Kemudian, BPKN merekomendasikan empat hal pada pemerintah. Pertama, memberikan santunan, kompensasi, dan ganti rugi pada korban baik yang mengalami perawatan atau meninggal dunia.
“Kedua, BPKN meminta pemerintah untuk segera menugaskan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit secara keseluruhan,” kata Rizal.
“Terkait pengawasan dan peredaran, baik dari bahan baku hingga produk jadi di sektor kefarmasian,” ujarnya lagi.
“Keempat, mengingat persoalan kesehatan menyangkut kepentingan keselamatan publik yang sangat luas, maka untuk menjamin pemenuhan hak publik secara umum, diperlukan penguatan lembaga yang melindungi konsumen secara mandiri,” kata Rizal.
Diketahui, kasus gagal ginjal akut pada anak mulai mengalami peningkatan pada Agustus 2022.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan di Indonesia terdapat 324 kasus di 27 provinsi.
Diduga penyakit ini diakibatkan oleh distributor bahan baku obat yang mencampur zat berbahaya yakni etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada obat sirup anak.
https://nasional.kompas.com/read/2022/12/15/16005461/serahkan-laporan-tpf-gagal-ginjal-akut-bpkn-temukan-ketidaksinkronan