Salin Artikel

Mencermati Pendampingan Hukum Kasus Ferdy Sambo

Sebetulnya nama mereka sudah sering menghiasi halaman depan media. Artinya memang merupakan publik figur yang sudah dikenal dan dekat dengan khalayak. Sudah sering menjadi narasumber dan aktif di berbagai media massa.

Menariknya mereka sekarang tampil berbeda dari biasanya, tampil dalam frame nonpopulis.

Berbagai pihak mencurahkan kekecewaan atas bergabung Febri dan Rasamala dalam tim hukum Ferdi Sambo dan istrinya, Putri Candrawati.

Publik bertubi-tubi mengungkapkan rasa penyesalannya atas keputusan itu. Tidak terkecuali rekan-rekannya sesama eks pegawai KPK.

Adalah Novel Baswedan dan Yudi Purnomo yang selama ini mendukung karir Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang sebagai pengacara di Visi Law Office. Kini ikut menyayangkan dan meminta Febri serta Rasamala segera mundur dari tim pengacara Ferdi Sambo dan istrinya.

Demikian pula ICW, tempat Febri Diansyah sebelum di KPK, melalui Kurnia Ramadhana tidak ketinggalan menyampaikan keberatannya.

Alasan pokok dari penolakan itu karena posisinya sangat tidak populis. Kasusnya penuh intrik dan rekayasa dari pelaku.

Semua prasangka itu memang belum teruji kebenarannya. Akan tetapi hasil dari sidang kode etik telah menunjukkan Ferdi Sambo dinyatakan bersalah.

Akibatnya pelaku dipecat dengan tidak hormat dari institusi kepolisian. Bahkan pada akhirnya menyeret banyak personel kepolisian lain yang kini menjadi pesakitan di ruang tahanan.

Saking ruwetnya kasus ini hingga mengundang atensi Presiden Joko Widodo, yang langsung memerintahkan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk segera mengusut hingga tuntas.

Khalayak begitu antusias mengikuti perkembangan proses hukum ini. Oleh karena itu, menjadi ujian bagi kredibiltas dan integritas bagi Polri di mata masyarakat.

Publik berharap kasusnya berjalan dengan adil dan transparan. Hal itu akan menjadi simbol harapan baru bagi penegakan hukum pidana di masa depan yang terbebas dari rekayasa.

Masuknya dua orang eks pegawai KPK sebagai pengacara Ferdy Sambo dan istri bagaikan pukulan balik (bumerang) bagi harapan publik.

Publik tidak rela jika kasusnya ditutup-tutupi atau direkayasa kembali seperti pada awalnya. Apalagi dengan memanfaatkan orang-orang penting yang selama ini idealis dan berintegritas dalam penegakan hukum (pemberantasan korupsi).

Sebetulnya publik lebih berharap kedua pengacara itu membela Brigadir Yosua sebagai korban tindak pidana.

Keberpihakan pada pelaku dianggap cenderung pragmatis, sedangkan berpihak pada korban dinilai idealis. Apalagi memang pelaku dalam hal ini termasuk orang kuat, mantan pejabat tinggi yang memiliki pundi-pundi uang.

Dasar hukum

Keberatan publik pada keberpihakan Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang sebagai pengacara Ferdi Sambo dan istrinya tidak memiliki dasar kuat serta hanya bersifat himbauan (emosional).

Tidak ada aturan yang melarang keduanya menjadi pengacara pelaku kejahatan. Mereka boleh memilih kliennya sendiri dengan latar belakang kaya, miskin, pelaku, korban, pejabat ataupun rakyat jelata. Mereka juga boleh menerima honor dari jasa hukum yang diberikan.

Mengutip Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2003 disebutkan “Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya”.

Demikian pula dalam Pasal 18 ayat 1 diterangkan “Advokat dalam menjalankan tugas profesinya tidak membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya”.

Sedangkan Pasal 21 ayat 1 menjelaskan bahwa “Advokat berhak menerima honorarium atas jasa yang telah diberikan”.

Di pihak lain, pelaku (Ferdi Sambo dan Putri Candrawati) yang sedang terjerat hukum tidak dilarang menggunakan jasa pengacara.

Mereka adalah tahanan layaknya yang lain, memiliki hak sebagaimana dilindungi dalam pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP, yang berbunyi “Tahanan berhak menghubungi dan didampingi pengacara”.

Sangat vitalnya fungsi dan peran pengacara bagi pelaku (tersangka) dalam proses peradilan pidana sehingga negara pun berusaha menyediakan bantuan hukum bagi setiap kaum yang tidak mampu sekalipun.

Bahkan pada kasus tahanan anak tidak dapat diproses di pengadilan jika tidak didampingi pengacara (dalam SPPA).

Negara menurut Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2022 menyediakan 619 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) gratis bagi golongan masyarakat kurang mampu.

Perbedaannya pelaku dalam kasus ini bukan berasal dari golongan yang tidak mampu. Sehingga tidak mungkin bisa menggunakan jasa Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang bersifat cuma-cuma. Jadi menyewa pengacara sendiri yang berbayar adalah alasan logis.

Pengacara pelaku

Menjadi pengacara di pihak pelaku kejahatan memang nonpopulis. Sangat berisiko mendapat tekanan dan bahan bullying dari khalayak.

Tidak cukup hanya bekerja profesional dan mengikuti aturan main. Sama sekali tidak ada niat untuk melakukan pelanggaran nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Padahal memang perannya sebagai pengacara hanya untuk mendampingi (membela) hak-hak dasar pelaku.

Hal itu sudah mendapat early warning dalam Pasal 18 ayat 2 UU Advokat yang berbunyi “Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat”.

Sistem peradilan pidana menyediakan subsistem pengacara pelaku di dalamnya. Pengacara dalam hal ini bertugas memberi perlindungan hukum pelaku (tersangka) supaya tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang (abuse of power) dari aparat hukum yang lain.

Proses pidana itu bersifat keras. Oleh karena itu, penyelesaian kejahatan melalui peradilan pidana adalah ultimum remedium (pilihan terakhir).

Meskipun dalam praktiknya di lapangan cenderung kita lihat masih menjadi pilihan utama (pokok dan satu-satunya) dalam penanggulangan kejahatan. Muaranya biasanya pelaku akan dipenjara. Hampir tidak pernah ada inovasi lain.

Alternatif penyelesaian di luar proses peradilan pidana masih jauh dari harapan, bahkan restorative justice hanya dilihat sebelah mata. Aroma balas dendam masih membayangi setiap penyelesaian kejahatan di Indonesia.

Hingga bisa kita lihat dalam kondisi penjara yang sudah kelebihan kapasitas. Data Sistem Database Pemasyarakatan (SDP Pulik) tanggal 5 Oktober 2022, menunjukkan jumlah penghuni rutan/lapas 275.699 orang. Sedangkan kapasitas hanya 132.107 orang atau kelebihan kapasitas 109 persen.

Posisi yang dialami Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang saat ini mengingatkan kita ketika keduanya masih di KPK saat memberikan tanggapan perlakuan terhadap pelaku kejahatan korupsi.

Mereka melontarkan kritik yang tajam terhadap lembaga lain yang fungsinya memberikan pembinaan narapidana. Kritik itu terutama menjawab pertanyaan terkait pemberian remisi dan pembebasan bersyarat koruptor.

Sudut pandang yang dipakai didasarkan pada institusinya sebagai penyidik dan penuntut umum. Padahal pihak yang dikritisi merupakan institusi pembinaan narapidana yang sedang menghadapi masalah tingginya kriminalitas dan kelebihan kapasitas.

Betapapun beratnya kejahatan yang dilakukan oleh klien Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang, pendampingan hukum seyogyanya tetap diberikan dengan sebaik-baiknya.

Kita harus menghormati proses hukum karena Indonesia merupakan negara hukum dan bangsa yang beradab berdasarkan Pancasila.

Proseslah hukum kasus ini sesuai dengan aturan main karena kita bukan bangsa bar-bar yang suka memberlakukan hukum rimba.

Tentu kita tidak mau tercatat dalam sejarah sebagai orang yang suka melakukan praktik hukum rimba dan hanya menonjolkan balas dendam semata.

https://nasional.kompas.com/read/2022/10/05/15200431/mencermati-pendampingan-hukum-kasus-ferdy-sambo

Terkini Lainnya

Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Nasional
Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Nasional
Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Nasional
PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

Nasional
Dua Kali Absen, Gus Muhdlor Akhirnya Penuhi Panggilan KPK

Dua Kali Absen, Gus Muhdlor Akhirnya Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Ganjar Tegaskan Tak Gabung Pemerintahan Prabowo, Hasto: Cermin Sikap PDI-P

Ganjar Tegaskan Tak Gabung Pemerintahan Prabowo, Hasto: Cermin Sikap PDI-P

Nasional
Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

Nasional
Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

Nasional
PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

Nasional
Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Nasional
KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

Nasional
Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Nasional
KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

Nasional
KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke