JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid mengatakan, kasus pembunuhan Brigadir J bisa disebut sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat.
Status pelanggaran HAM berat itu bisa diberikan merujuk rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyebut peristiwa pembunuhan Brigadir J adalah extra judicial killing atau menghilangkan nyawa tanpa proses hukum.
"Extra judicial killing adalah pelanggaran ham yang berat dan karena ia merupakan pelanggaran HAM yang berat menurut Undang-undang HAM," ujar Usman saat diskusi publik di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (27/9/2022).
Usman Hamid merujuk pada Pasal 104 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam Pasal 104 ayat (1) disebutkan bahwa untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Pengadilan Umum.
Penjelasan Pasal 104 Ayat (1) disebutkan yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat adalah genosida, pembunuhan sewenang-wenang atau putusan pengadilan (extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.
Menurut Usman, dengan menggunakan dasar hukum tambahan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pelanggaran HAM berat, Komnas HAM bisa melakukan penyelidikan lanjutan.
Penyelidikan lanjutan tersebut, kata Usman, bisa bersifat pro justicia dan mengungkap akar masalah pembunuhan Brigadir J.
"Seharusnya Komnas HAM (bisa) melakukan penyelidikan (lanjutan) yang sifatnya pro justicia," ujar dia.
Sebagai informasi, Komnas HAM memberikan kesimpulan pada 1 September 2022 bahwa pembunuhan Brigadir J merupakan tindakan extra judicial killing.
Namun demikian, Komnas HAM membantah peristiwa pembunuhan Brigadir J masuk dalam kategori kasus pelanggaran HAM berat.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, pelanggaran HAM berat adalah kejahatan yang dilakukan negara secara sistematis, berulang kali kepada masyarakat sipil yang melahirkan sebuah pola kekerasan.
Taufan mencontohkan di daerah operasi militer (DOM) yang sering terjadi kekerasan pelanggaran HAM akibat kebijakan pemerintah.
"Dalam operasi militer itu kemudian tentara kita melakukan kejahatan-kejahatan HAM, memeriksa orang dengan kekerasan, menyiksa, bahkan ada pemerkosaan dan pembunuhan di berbagai tempat dalam satu periode tertentu," kata Taufan saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Senin (29/8/2022).
Jika merujuk pada Statuta Roma terkait pelanggaran HAM berat, maka kasus Brigadir J tidak mewakili kasus HAM berat.
Namun demikian, saat ini, banyak masyarakat justru salah kaprah mengenai definisi pelanggaran HAM berat.
Karena menurut Taufan, frasa "pelanggaran HAM berat" tidak bisa sepenuhnya menerjemahkan Statuta Roma tentang gross violations human right.
"Karena konotasinya (di masyarakat) begini, kalau ada (pelanggaran HAM) berat berarti ada (pelanggaran) ringan, lah ini orang (pembunuhan Brigadir J) kepala ditembak di sini kok (disebut) enggak berat?" kata dia.
Taufan mengatakan, banyak warga masih menilai pelanggaran HAM berat sebagai bentuk sadistis atau kekejaman yang diterima oleh korban.
"Padahal pelanggaran HAM berat itu adalah satu definisi hukum internasional yang kemudian kita masukkan ke Undang-undang 26 Tahun 2000 yang berkaitan dengan kejahatan negara," ujar Taufan.
https://nasional.kompas.com/read/2022/09/27/19291721/amnesty-international-merujuk-rekomendasi-komnas-ham-kasus-brigadir-j-adalah