Salin Artikel

Polri Melawan Arus

Wajar. Pasalnya, tragedi Duren Tiga Berdarah memang mengguncang keinsafan masyarakat luas tentang betapa besarnya penataan diri yang perlu Polri lakukan.

Pada sisi lain, sebagai pengingat, terdapat sejumlah catatan positif tentang kerja Polri yang mengandung nilai-nilai yang sangat fundamental.

Pertama, KPK mendapat sorotan luas akibat pemberhentian yang dilakukan terhadap puluhan personelnya yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan.

Mereka yang dipecat itu diberikan kartu merah dengan alasan tidak mungkin lagi untuk dibenahi KPK.

Akal sehat pun spontan bertanya-tanya, kalau lembaga negara sekelas KPK saja sudah lempar handuk dengan membuat para personel itu “masuk kotak”, siapakah lagi yang bisa diharapkan mampu membenahi mereka?

Tapi Polri, tanpa seleksi sama sekali, justru membuka pintu selapang-lapangnya kepada seluruh mantan ponggawa KPK itu untuk bergabung ke dalam Polri.

Pembentukan Kortas Tipikor, terang Kapolri, dilatarbelakangi oleh gairah Polri untuk memperbaiki indeks persepsi korupsi. Januari lalu, Polri dikabarkan telah resmi mengusulkan pembentukan Kortas Tipikor itu ke Sekretariat Negara.

Perekrutan eks-personel KPK tanpa tes itu memiliki makna sangat dalam. Perekrutan sedemikian rupa terang-terang menunjukkan tentangan Polri terhadap “kebijakan” KPK.

Itu, jelas, langkah mbalelo yang luar biasa berani. Pasalnya, setelah KPK bersikap, pimpinan nasional sekaliber Presiden Jokowi pun tidak kuasa berbuat apa pun untuk mengatasi situasi yang dipandang luas sebagai kejanggalan KPK itu.

Demikian pula DPR. Praktis, semua masukan korektif Ombudsman juga “masuk ke dalam laci”. Hanya Polri, yang tanpa banyak bernarasi di publik, langsung bersikap melawan arus.

Polri menolak logika TWK yang abai terhadap kinerja sebagai parang pemenggal leher para karyawan.

Polri seakan ingin mengatakan bahwa korps Tribrata memiliki pemaknaan tersendiri yang seharusnya dihidup-hidupkan pada hari ini, oleh semua pihak atas kata ‘nasionalisme’.

Polri juga secara tidak langsung memberikan koreksi tentang bagaimana nasionalisme itu seharusnya ditakar, di samping memiliki desain jangka panjang tentang bagaimana menyikapi implikasi dari dari tes yang bermasalah itu.

Tinggal lagi ke depannya, setelah Kortas Tipikor resmi dibentuk, diharapkan korps tersebut akan berkiprah signifikan.

Baik bagi pemberantasan korupsi secara umum maupun—lebih-lebih—perbaikan organisasi Polri agar bersih dari korupsi sebagai salah satau subkultur menyimpang yang secara universal ada di setiap institusi kepolisian.

Kortas Tipikor semakin krusial, karena berbeda dengan KPK yang bersifat ad hoc, Polri adalah lembaga penegakan hukum yang bersifat permanen.

Status itu mengharuskan Polri memiliki kesanggupan untuk sewaktu-waktu mengambil alih posisi sebagai pisau kembar bersama Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi.

Kedua, penyelenggaraan kompetisi mural oleh Polri. Kapolri mengakui, lomba itu terinspirasi dari peristiwa pelarangan kebablasan terhadap mural ‘404 Presiden Jokowi Not Found’.

Lagi-lagi, perhelatan lomba mural itu diadakan di tengah-tengah sorotan khalayak luas terhadap para elite yang dinilai antikritik.

Lewat lomba mural itu, nilai yang Polri tonjolkan adalah bahwa sikap keterbukaan sudah seharusnya dipunyai oleh setiap personel Polri, bahkan oleh seluruh pembuat kebijakan.

Sikap sedemikian rupa patut dicatat sebagai fajar baru bagi kesantuan (civility) yang pada waktu-waktu sebelumnya dirasakan menyusut dari institusi Polri.

Agenda berikutnya adalah bagaimana Divisi Sumber Daya Manusia Polri serta Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri dapat menyerap sekaligus menerjemahkan spirit di balik lomba mural itu ke segenap personelnya.

Catatan ketiga—tak lain—adalah kasus Duren Tiga Berdarah. Pengungkapan kasus ini belum mencapai titik final.

Penilaian terhadap kerja Polri dalam tragedi mengerikan itu patut dilandaskan pada empat parameter keberhasilan. Yakni ketuntasan, objektivitas, keutuhan (komprehensif), dan transparansi.

Dari sisi ketuntasan, kerja Polri baru bisa dikatakan rampung apabila nantinya terdapat putusan pidana dan etik yang adil bagi pihak-pihak yang bersangkut paut dengan aksi pembunuhan dan tindakan menghalang-halangi penegakan hukum atas pembunuhan tersebut.

Ketuntasan harus disertai dengan keutuhan. Artinya, di samping mengejar pertanggungjawaban pidana dan etik dari masing-masing pihak secara individual, Polri juga sepatutnya memberikan pertanggungjawabannya sebagai sebuah institusi.

Polri sudah sepantasnya secara rendah hati menerima pandangan bahwa kasus Duren Tiga Berdarah dan obstruction of justice yang menyusul kemudian adalah sangat mirip dengan kejahatan sistemik atau kejahatan terorganisasi.

Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Polri kecuali membongkar habis segala bentuk kode senyap (code of conduct) yang menaungi kasus tersebut.

Kode senyap, yang ditandai kebiasaan personel lembaga penegakan hukum menutup-nutupi kesalahan sejawat satu korps mereka, adalah subkultur menyimpang yang hidup subur seusia dengan institusi kepolisian itu sendiri.

Indikasi bahwa kode senyap juga merayap-rayap di awal pengungkapan kasus Duren Tiga Berdarah bisa ditangkap jelas oleh masyarakat, Menko Polhukam Mahfud MD, bahkan Presiden Jokowi.

Hanya Kompolnas yang dengan naifnya tidak bekerja cermat untuk menangkap atau mengakui adanya gejala gerakan tutup mulut tersebut.

Karena—perkiraan saya—kode senyap juga hidup di lembaga Polri, maka masuk akal bahwa Polri juga sempat memperlihatkan kegagapannya.

Atas dasar itu, permintaan Kapolri pada Juli, lalu agar publik memberikan dukungan bagi kerja investigasi Polri dapat dimaknai sebagai indikasi bahwa Polri berhadap-hadapan dengan tembok tebal yang ingin menyimpangkan pengungkapan kasus Duren Tiga tersebut.

Dan tidak ada sumber kekuatan lain, kecuali semangat dan kepercayaan dari masyarakat, yang dapat Polri gunakan untuk menjebol tembok senyap itu.

Pertanggungjawaban Polri sebagai institusi atas kasus Duren Tiga Berdarah seyogianya meliputi aspek restrukturisasi dan aspek anggaran.

Restrukturisasi sudah mulai bergerak, ditandai pembubaran Satgassus dan pergantian sejumlah pejabat Polri.

Bahkan, pada hari-hari mendatang, tidak tertutup kemungkinan banjir bandang internal Polri masih akan terus berlangsung.

Harapan luas, topan badai itu akan semaksimal mungkin membersihkan Polri dari anasir-anasir yang menegakkan tembok senyap tadi.

Berikutnya adalah pertanggungjawaban dari sisi anggaran. Masa pertanggungjawaban anggaran memang belum tiba.

Namun sebagai perbandingan, mengacu studi di negeri Paman Sam, “biaya” bagi satu kasus fatal shooting adalah setara 1,5 juta dolar Amerika Serikat. Biaya itu, bahkan satu sen pun, harus lembaga kepolisian pertanggungjawabkan.

Atas dasar itu, penting bagi DPR dan Presiden nantinya untuk meninjau ulang anggaran Polri, sebagai konsekuensi dari peristiwa Duren Tiga Berdarah.

Idealnya, Polri sejak kini melakukan analisis kebutuhannya secara lebih cermat. Dengan analisis yang baik, Polri akan dapat merelokasi anggaran yang dimilikinya ke pos-pos yang lebih relevan untuk kepentingan—antara lain—penajaman standar etik, pelurusan jiwa korsa, penguatan kemampuan investigasi, dan peningkatan efektivitas komunikasi publik.

Berlanjut ke parameter keberhasilan berikutnya, yaitu objektivitas. Dari sisi objektivitas, Polri harus bisa memastikan bahwa kerja penyidikan atas kasus Duren Tiga Berdarah diletakkan pada kaidah normatif dan sesuai rambu-rambu keilmuan (saintifik), serta tidak berkelak-kelok dengan menjadikan diskresi sebagai tamengnya.

Terakhir, transparansi. Profesionalisme kerja penyidik dan inspektorat memang elemen kunci. Namun kerja itu juga mutlak harus ditopang oleh kehumasan yang efektif.

Humas Polri-lah yang bertugas mengomunikasikan penanganan kasus Duren Tiga Berdarah oleh Tim Khusus dan Inspektorat Khusus—keduanya bentukan Mabes Polri—ke media dan masyarakat seluas-luasnya.

Pertanyaanya, seberapa jauhkan keberhasilan Polri menangani kasus pembunuhan dan obstruction of justice Duren Tiga Berdarah?

Dengan memakai empat parameter di atas, nilai bagi Polri saya bubuhkan dengan tinta biru atau hitam. Mungkinkah nilai Polri dalam rapor Duren Tiga Berdarah itu ditulis dengan tinta emas?

Kasus Duren Tiga Berdarah lebih dari sekadar persoalan pidana. Kasus tersebut merupakan kesempatan baik bagi Polri—sebagaimana institusi-institusi kepolisian lainnya—untuk membuktikan kesungguhan korps Tribrata dalam melawan musuh terbesarnya: diri sendiri.

Tentu, Polri membutuhkan kekuatan nyali luar biasa untuk melakukan pembongkaran besar-besaran terhadap rupa-rupa subkultur menyimpang yang telah mewabah selama bermasa-masa itu.

Perekrutan eks-personel KPK dan penghargaan bagi pelukis mural (pengritik!) Polri memunculkan tanda-tanda alam yang positif tentang Polri.

Tanda alam berikutnya, bahkan sangat monumental, potensial datang dari terpenuhinya empat parameter keberhasilan penanganan tragedi Duren Tiga Berdarah.

Allahu a’lam.

https://nasional.kompas.com/read/2022/08/18/11094111/polri-melawan-arus

Terkini Lainnya

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke