JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Meutya Hafid menilai, konflik Rusia-Ukraina secara tidak langsung berdampak terhadap tekanan yang diterima Indonesia.
Terlebih, hal itu dirasakan menjelang Indonesia menggelar pertemuan puncak G20 di Bali, pada November mendatang.
Akibatnya, posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 tahun ini, dinilai Meutya, mulai terasa sensitif dan politis.
"Saya dapat merasakan betul ketika rapat kerja dengan Kementerian Luar Negeri bahwa urusan Presidensi G20 Indonesia 2022 mulai terasa pelik, sensitif, dan sangat politis," kata Meutya dalam keterangannya, Rabu (10/8/2022).
"Indonesia berada di antara tarik-menarik kepentingan negara-negara yang tengah berkonflik. Urusan undangan saja jadi dilematis dan kompleks," lanjutnya.
Hal itu disampaikan Meutya saat menjadi Pembicara Kunci dalam diskusi publik bertajuk “Dampak Konflik Rusia-Ukraina Terhadap Presidensi G20 di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Yayasan Ruang Damai, Selasa (9/8/2022).
Politisi Partai Golkar itu juga menyoroti peran politik luar negeri Indonesia jika dikaitkan dengan Presidensi G20.
Menurutnya, keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menemui Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada akhir Juni 2022 sudah tepat.
Dalam kesempatan yang sama, pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia (UI) Edy Prasetyono mengatakan, tindakan Indonesia untuk tidak mengambil sikap sanksi terhadap Rusia karena belum ada ketetapan resmi dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah benar.
“Indonesia tidak ikut serta memberikan sanksi bukan berarti pro Rusia, namun karena Indonesia memegang prinsip integritas dan menghormati hukum internasional karena pada saat itu belum ada ketetapan sanksi resmi dari PBB," ucap Edy.
Kendati demikian, ia menilai Indonesia secara tegas tetap menentang terjadinya perang.
Tidak hanya politik luar negeri, konflik Rusia-Ukraina dinilai berdampak terhadap situasi masyarakat di Indonesia.
Hal itu diungkapkan oleh Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Haripin.
"Terjadi polarisasi akibat konflik tersebut. Indonesia telah berupaya untuk menjadi jembatan perdamaian," tutur Haripin.
Di sisi lain, cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU) Mukti Ali menilai, Indonesia sebagai tuan rumah berhak mengundang negara-negara G20.
Keputusan itu, kata dia, harus dihormati karena semua pihak berkomitmen pada kesepakatan yang dibuat sebelum konflik terjadi.
https://nasional.kompas.com/read/2022/08/10/13592211/ketua-komisi-i-nilai-konflik-rusia-ukraina-sensitif-dan-politis-bagi