Sugeng menyinggung aturan yang mengatur terkait kewajiban dari bawahan Polri untuk menolak segala perintah atasan.
Apabila perintah dari atasan itu tidak sesuai dengan norma ataupun aturan yang berlaku, maka bawahan seharusnya menolak menjalankannya.
Sugeng memaparkan Pasal 1 angka 5 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri (KEPP).
Di dalamnya, disebutkan norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis yang berkaitan dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan.
"Pada kasus polisi tembak polisi di rumah Irjen Ferdy Sambo tersebut telah menyeret banyak anggota yang terpaksa harus diperiksa secara etik karena melakukan obstruction of justice. Sehingga, terjadi ketidakprofesionalan, ketidakproporsionalan dan tidak prosedural yang dilakukan terperiksa," ujar Sugeng dalam keterangannya, Jumat (5/8/2022).
Selanjutnya, Sugeng menjelaskan, dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang KEPP menyatakan bahwa setiap anggota Polri wajib setia kepada Polri sebagai bidang pengabdian kepada masyarakat, bangsa, dan negara dengan memedomani dan menjunjung tinggi Tribrata dan Catur Prasetya.
Selain itu, para anggota harus menjaga dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan Polri.
Anggota Korps Bhayangkara juga harus menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural.
Bahkan, kata Sugeng, di dalam ayat 3 dikatakan, setiap anggota Polri yang berkedudukan sebagai bawahan, wajib menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan.
Dengan demikian, dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh 25 polisi di kasus Brigadir J sangat bertentangan dengan Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang KEPP.
"Isi Pasal 13 ayat 1 berbunyi setiap anggota Polri dilarang: b. mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena pengaruh keluarga, sesama anggota Polri, atau pihak ketiga, e. menyalahgunakan kewenangan dalam melaksanakan tugas kedinasan," tuturnya.
Sementara itu, di Pasal 14, ditegaskan bahwa setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya.
Merekayasa isi keterangan dalam berita acara pemeriksaan juga haram hukumnya bagi para penyelidik maupun penyidik.
"(Juga) melakukan penyidikan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena adanya campur tangan pihak lain," imbuh Sugeng.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listo Sigit Prabowo mengatakan, 25 personel diperiksa karena diduga tidak profesional saat menangani penyidikan kasus tewasnya Brigadir J.
Mereka terdiri dari 3 perwira tinggi jenderal bintang satu, 5 personel Komisaris Besar, 3 AKBP, 2 personel Komisaris Polisi, 7 personel perwira pertama, serta bintara dan tamtama sebanyak 5 personel.
Menurutnya, para personel yang diduga tidak professional itu berasal dari satuan di Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), Bareskrim, Polres Jakarta Selatan, dan Polda Metro Jaya.
“25 personel ini kita periksa terkait dengan ketikdakprofesionalan dalam penanganan TKP dan juga beberapa hal yang kita anggap itu membuat proses olah TKP dan juga hambatan-hambatan dalam hal penanganan TKP dan penyidikan,” ujar Sigit di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Sigit mengatakan, pemeriksaan telah dilakukan oleh Inspektorat Khusus (Irsus) yang dipimpin oleh Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Pol Agung Budi Maryoto.
https://nasional.kompas.com/read/2022/08/05/14153941/25-polisi-tak-profesional-di-kasus-brigadir-j-ipw-ungkit-bawahan-polri-wajib