JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah meminta pemerintah terus melakukan evaluasi secara cermat kerangka aturan kerja sama pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) atau tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia.
Menurut Anis, kerja sama di antara kedua negara seharusnya dilakukan dengan mengusung asas saling menghormati dan menghargai.
"Sejauh mana titik-titik resiprositas atau saling menguntungkan kerja sama yang dibangun oleh kedua negara ini, sehingga Malaysia tidak arogan terus," kata Anis saat dihubungi Kompas.com, Senin (25/7/2022).
Anis menilai keputusan pemerintah yang menghentikan sementara pengiriman PMI/TKI ke Malaysia sejak 13 Juli 2022 lalu sudah tepat.
Sebab, Indonesia menilai Malaysia melanggar nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) tentang proses pencatatan, penempatan, dan perlindungan tenaga kerja.
Menurut Anis, pemerintah Malaysia seharusnya tidak melanggar nota kesepahaman yang sudah ditandangani.
Anis menilai sikap Malaysia yang tetap menggunakan sistem perekrutan di luar yang sudah disepakati seolah sebagai bentuk arogansi.
"Karena dia selalu merasa kita yang tergantung dengan Malaysia, padahal kedua negara ini kan saling membutuhkan, kerja samanya saling menguntungkan," ujar Anis.
"Ini yang perlu dibuat bagaimana bilateral setara, saling memberikan keuntungan sehingga saling menghormati satu dengan yang lain," lanjut Anis.
MoU antara Pemerintah RI dan Malaysia tentang Penempatan dan Perlindungan PMI Sektor Domestik di Malaysia ditandatangani oleh Menteri Ketenagakerjaan RI dan Menteri Sumber Manusia Malaysia pada 1 April 2022.
Penandatanganan disaksikan oleh Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Dato’ Sri Ismail Sabri Yaakob.
Nota kesepahaman itu merupakan pembaruan kesepakatan dan mekanisme penempatan PMI sektor domestik yang bekerja di Malaysia yang sudah ada.
Selain itu, nota kesepahaman tersebut memuat penempatan PMI hanya dilakukan melalui Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) atau One Channel System.
Akan tetapi, pasca penandatanganan MoU, Malaysia ternyata masih menggunakan sistem di luar SPSK, yaitu Sistem Maid Online (SMO).
Sistem SMO menempatkan pekerja migran secara langsung dengan mengubah visa kunjungan menjadi visa kerja, termasuk bagi pekerja asal Indonesia.
SMO yang berjalan ini dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri (KDN) Malaysia sendiri melalui Jabatan Imigresen Malaysia.
Indonesia menilai sistem SMO membuat kondisi pekerja migran semakin rentan dan membuat pemerintah Indonesia tidak mempunyai data rinci terkait PMI/TKI di Malaysia.
Hal itu membuat pemerintah RI sulit memberikan perlindungan kepada PMI saat menghadapi berbagai persoalan.
Misalnya penahanan paspor oleh majikan, pemotongan gaji, dan tidak adanya kontrak kerja.
Sebab jika seorang pekerja migran dinyatakan ilegal dan mengalami perlakuan buruk dari majikannya, maka posisi mereka sangat lemah di hadapan sistem hukum Malaysia.
Menurut catatan ada 1,6 juta PMI prosedural di Malaysia yang bekerja di sektor perkebunan, pabrik, dan domestik yakni sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
Merujuk data Bank Indonesia (BI), jumlah kiriman uang PMI dari Malaysia sebelum pandemi berkisar USD 3 miliar atau setara Rp 40 triliun per tahun.
(Penulis : Irfan Kamil | Editor : Irfan Maullana)
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/26/06310071/migrant-care-minta-malaysia-tak-arogan-dan-hormati-mou-tki