KOMPAS.com ¬ Perkawinan yang sah di mata negara adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di Indonesia, salah satu peraturan yang mengatur perkawinan adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019.
Selain itu, ada juga sejumlah ketentuan lain yang mengatur tentang perkawinan.
Lantas, bagaimanakah perkawinan beda agama menurut hukum yang berlaku di Indonesia?
Perkawinan beda agama menurut hukum
Pada dasarnya, belum ada hukum perkawinan di Indonesia yang mengatur secara khusus dan jelas mengenai perkawinan pasangan beda agama.
Namun, dalam UU Perkawinan menyebutkan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
Dalam penjelasan pasal disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Selain itu, di dalam Pasal 8 juga tertulis bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan, yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Bagi yang beragama Islam, perkawinan juga dilaksanakan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI). Mengacu pada Pasal 4 KHI, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam.
Peraturan ini juga dengan tegas melarang umat Islam untuk menikah beda agama. Larangan ini tertuang dalam Pasal 40 dan Pasal 44.
Dengan begitu, tertutuplah kemungkinan untuk perkawinan beda agama.
Meski begitu, terdapat yurisprudensi hukum terkait perkawinan beda agama, yakni Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 1400 K/Pdt/1986.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi pemohon yang beragama Islam untuk menikah dengan pasangannya yang beragama Kristen Protestan.
Melalui putusan ini, MA memerintahkan Kantor Catatan Sipil (sekarang disebut Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil) untuk melangsungkan perkawinan beda agama antara pemohon dan pasangannya.
Putusan ini pun sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Negeri sebelumnya mengenai penolakan melangsungkan perkawinan tersebut oleh Kantor Catatan Sipil.
Dalam pertimbangannya, MA menyebut, dengan diajukannya permohonan untuk melangsungkan perkawinan kepada Kantor Catatan Sipil, maka ditafsirkan bahwa pemohon hendak menikah tidak secara Islam dan tidak lagi menghiraukan status agamanya.
Atas dasar inilah, MA memerintahkan Kantor Catatan Sipil wajib menerima permohonan pemohon tersebut.
Risiko nikah beda agama
Menurut UU Perkawinan dan KHI, pernikahan yang tidak dicatatkan pada pejabat yang berwenang dianggap tidak memiliki kekuatan hukum.
Dengan begitu, perkawinan beda agama yang tidak dapat dicatatkan kepada negara akan dianggap tidak sah di mata negara.
Akibatnya, hak-hak suami, istri serta anak-anak yang dilahirkan tidak memiliki jaminan perlindungan hukum.
Untuk diketahui, anak yang sah menurut UU Perkawinan dan KHI adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata atau hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Referensi:
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/07/02050081/perkawinan-beda-agama-menurut-hukum-positif-di-indonesia