Salin Artikel

Meneropong Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

MK melalui putusannya meminta pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut ketentuan tentang penjabat kepala daerah dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Peraturan itu diminta untuk menyediakan mekanisme dan persyaratan yang terukur, sehingga pengangkatan penjabat kepala daerah tidak berbenturan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Sayangnya, peraturan yang diperintahkan MK itu tak kunjung ada hingga dilantiknya 48 penjabat kepala daerah. Pemerintah hanya berpegang pada ketentuan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada yang menyatakan, kekosongan jabatan gubernur dapat diisi penjabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya.

Sementara untuk mengisi kekosongan jabatan bupati atau wali kota, dapat diisi penjabat dari jabatan pimpinan tertinggi pratama. Proses pemilihan dimulai dari Kemendagri yang akan memberikan tiga nama calon penjabat gubernur kepada presiden. Kemudian, presiden akan memilih penjabat gubernur.

Sedangkan untuk penjabat bupati dan wali kota akan dipilih langsung oleh Kemendagri berdasarkan usulan dari gubernur.

Celah masalah

Celah masalah muncul dari ketiadaan prasyarat lain yang harus dipenuhi calon penjabat kepala daerah selain jabatan pimpinan tinggi aparatur sipil negara (ASN). Ketika tidak terdapat kejelasan indikator pemilihan, akan menjadi sebuah pertanyaan besar bagaimana cara presiden dan mendagri menetapkan orang yang akan dipercaya untuk menjadi penjabat kepala daerah.

Ketidakjelasan metode pemilihan hingga keputusan akhir yang hanya berada di tangan pemerintah pusat akan mengancam prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Penundaan penyelenggaraan pilkada tahun 2022 dan 2023 sebagaimana amanat UU Pilkada menjadi satu hal yang harus diterima sebagai konsekuensi agar Pilkada Serentak 2024 dapat dilaksanakan.

Pengangkatan penjabat kepala daerah juga merupakan sebuah solusi untuk mengisi kekosongan kepemimpinan di beberapa provinsi, kabupaten, dan kota.

Namun, menjadikan dua hal tersebut sebagai alasan pembenar sentralisasi kewenangan pemilihan penjabat kepala daerah hanya kepada pemerintah pusat merupakan sebuah kekeliruan. Tidak dapat diberikan pemakluman terhadap mekanisme pemilihan penjabat kepala daerah yang tidak transparan dan tanpa partisipasi publik yang lebih luas.

Meskipun berada dalam keadaan di luar kebiasaan, tetapi pemerintah tidak dapat mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dalam memilih individu yang akan menjadi pemimpin di sebuah daerah.

Ketika hal ini tetap dibiarkan, maka pengisian jabatan kepala daerah di Indonesia hari ini tak ubahnya dengan yang dilakukan pemerintahan Orde Lama. Pasal 4 Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah menjelaskan, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden bagi daerah tingkat I (saat ini provinsi) dan menteri dalam negeri dan otonomi daerah bagi daerah tingkat II (saat ini kabupaten/kota).

Proses awalnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) akan mengajukan calon-calon kepala daerah yang kemudian masing-masing diangkat oleh presiden dan menteri dalam negeri dan otonomi daerah. Meskipun berada di tengah-tengan Demokrasi Terpimpin yang cenderung sentralistik, tetapi masih terdapat pelibatan DPRD dalam proses pencalonan, meskipun keputusan awal tetap berada di tangan pemerintah pusat.

Keberadaan sebuah peraturan pelaksana terkait pengangkatan penjabat kepala daerah sebagaimana yang diperintahkan Putusan MK 15/PUU-XX/2022 menjadi hal yang penting. Pada bagian pertimbangan hukum, MK telah menjelaskan bahwa pemerintah perlu menyediakan aturan yang memuat mekanisme dan persyaratan dalam memilih calon penjabat kepala daerah.

Penetapan harus terbuka dan akuntabel

Pengisian penjabat juga harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus demi rakyat dan kemajuan daerah. Peraturan pelaksana terkait pemilihan penjabat kepala daerah hendaknya juga dilengkapi dengan mekanisme hubungannya dengan DPRD.

Penjabat yang berasal dari ASN (aparatur sipil negara) serta tidak memiliki kekuatan politik di parlemen daerah berpotensi mereduksi check and balances antara eksekutif dan legislatif. Hal tersebut dibutuhkan karena terdapat keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh penjabat kepala daerah, sehingga mereka tidak dapat bergerak seleluasa kepala daerah yang dipilih melalui pilkada.

Pasal 132A ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah melarang penjabat daerah untuk melakukan mutasi pegawai; membatalkan perizinan yang telah ada; hingga membuat kebijakan tentang pemekaran daerah. Namun, larangan tersebut dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari mendagri.

Pengecualian inilah yang akan membuat ketidakseimbangan hubungan antara penjabat kepala daerah dengan DPRD. Peran mendagri yang dapat memberikan persetujuan terhadap beberapa keputusan krusial seperti membatalkan maupun membuat perizinan baru yang bertentangan dengan keputusan kepala daerah sebelumnya akan membuat pemerintah pusat memiliki kekuatan yang sangat besar untuk memengaruhi dinamika pemerintahan daerah.

Oleh karena itu, peraturan pelaksana yang harus dibuat oleh pemerintah berdasarkan putusan MK tidak hanya terkait mekanisme pengangkatan penjabat kepala daerah, tetapi juga mereduksi kekuasaan pemerintah pusat dan memberikan kewenangan yang lebih baik kepada penjabat yang telah dilantik.

https://nasional.kompas.com/read/2022/06/14/15365851/meneropong-pengangkatan-penjabat-kepala-daerah

Terkini Lainnya

BPIP Siapkan Paskibraka Nasional untuk Harlah Pancasila 1 Juni

BPIP Siapkan Paskibraka Nasional untuk Harlah Pancasila 1 Juni

Nasional
Jaksa Agung Mutasi 78 Eselon II, Ada Kapuspenkum dan 16 Kajati

Jaksa Agung Mutasi 78 Eselon II, Ada Kapuspenkum dan 16 Kajati

Nasional
Hari Ke-14 Haji 2024: Sebanyak 90.132 Jemaah Tiba di Saudi, 11 Orang Wafat

Hari Ke-14 Haji 2024: Sebanyak 90.132 Jemaah Tiba di Saudi, 11 Orang Wafat

Nasional
Di Tengah Rakernas PDI-P, Jokowi Liburan ke Borobudur Bareng Anak-Cucu

Di Tengah Rakernas PDI-P, Jokowi Liburan ke Borobudur Bareng Anak-Cucu

Nasional
DPR Sampaikan Poin Penting dalam World Water Forum ke-10 di Bali

DPR Sampaikan Poin Penting dalam World Water Forum ke-10 di Bali

Nasional
Ahok Mengaku Ditawari PDI-P Maju Pilgub Sumut

Ahok Mengaku Ditawari PDI-P Maju Pilgub Sumut

Nasional
Sadar Diri, PDI-P Cuma Incar Kursi Cawagub di Pilkada Jabar

Sadar Diri, PDI-P Cuma Incar Kursi Cawagub di Pilkada Jabar

Nasional
Tersandung Kasus Pemalsuan Surat, Pj Wali Kota Tanjungpinang Diganti

Tersandung Kasus Pemalsuan Surat, Pj Wali Kota Tanjungpinang Diganti

Nasional
Nasdem dan PKB Diprediksi Dapat 2 Jatah Kursi Menteri dari Prabowo

Nasdem dan PKB Diprediksi Dapat 2 Jatah Kursi Menteri dari Prabowo

Nasional
Hari ke-2 Rakernas PDI-P, Jokowi Masih di Yogyakarta, Gowes Bareng Jan Ethes...

Hari ke-2 Rakernas PDI-P, Jokowi Masih di Yogyakarta, Gowes Bareng Jan Ethes...

Nasional
Refleksi 26 Tahun Reformasi: Perbaiki Penegakan Hukum dan Pendidikan Terjangkau

Refleksi 26 Tahun Reformasi: Perbaiki Penegakan Hukum dan Pendidikan Terjangkau

Nasional
Diajak Jokowi Keliling Malioboro, Jan Ethes Bagi-bagi Kaus ke Warga

Diajak Jokowi Keliling Malioboro, Jan Ethes Bagi-bagi Kaus ke Warga

Nasional
Gerindra Minta soal Jatah Menteri Partai yang Baru Gabung Prabowo Jangan Jadi Polemik

Gerindra Minta soal Jatah Menteri Partai yang Baru Gabung Prabowo Jangan Jadi Polemik

Nasional
Gerindra: Nasdem Sama dengan Partai Koalisi yang Lebih Dulu Gabung, Hormati Hak Prerogatif Prabowo

Gerindra: Nasdem Sama dengan Partai Koalisi yang Lebih Dulu Gabung, Hormati Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Pengamat: Sangat Mungkin Partai yang Tak Berkeringat Dukung Prabowo-Gibran Dapat Jatah Menteri

Pengamat: Sangat Mungkin Partai yang Tak Berkeringat Dukung Prabowo-Gibran Dapat Jatah Menteri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke