Salin Artikel

BUMDes dan Pembangunan Ekonomi Pedesaan

Institusi ekonomi pedesaan berupa people commune dan brigade enterprises warisan Mao berhasil beralih menjadi Township and Village Enterprises (TVEs) di awal tahun 1980-an, lalu pelan-pelan diprivatisasi di era 1990-an, setelah proses transisi kepemilikan saham kolektif, lalu berubah menjadi joint share atau joint stock, dan berakhir dengan privatisasi sepanjang tahun 1990-an.

Keberadaan TVEs sangat krusial dalam proses liberalisasi harga, industrialisasi pedesaan (rural industrialization), dan privatisasi kepemilikan usaha di China selama masa awal transformasi, selain proses privatisasi terukur Sebagian Badan Usaha Milik Negara (SOEs).

Peran fundamental TVEs adalah memberikan landasan kokoh pada proses industrialisasi pedesaan di China dengan peningkatan signifikan kontribusi TVEs pada PDB (Fei 1998; Naughton 2006; Weitzman, Xu 1994, Cheng Ji 2017, dll). Hasilnya terbukti sangat luar biasa, bahkan di luar dugaan Partai Komunis China (Cheng Ji, 2017).

Tahun 1996, jelang privatisasi total, TVEs tercatat berhasil berkontribusi pada PDB (produk domestik bruto) nasional China sekitar 40 persen, dibanding tahun 1978 yang hanya sekitar 20 persenan karena dominasi kontribusi perusahaan-perusahaan negara yang jumlahnya ratusan ribu saat itu.

Di era Great Leap Forward dan Revolusi Kebudayaan, people commune dan brigade diwajibkan berproduksi berdasarkan kuota yang ditentukan pemerintah dengan harga yang juga telah ditetapkan. Saat beralih menjadi TVEs, kuota masih tetap dibebankan tetapi dengan keleluasaan untuk berproduksi melebihi kuota untuk dijual berdasarkan harga pasar (dual track pricing system).

Kebijakan liberalisasi harga secara bertahap ini ternyata memotivasi TVEs-TVEs untuk menjadi lebih produktif karena ada peluang untuk mendapatkan profit dari kelebihan produksi yang mereka hasilkan. Seiring berjalan waktu, pelan-pelan sebagian besar TVEs diprivatisasi (sekitar 80 persen) dari total jumlah TVEs yang lebih dari 1,2 jutaan.

Sisanya dibeli secara total oleh pemerintahan lokal alias menjadi BUMD-BUMD. Sementara soal pembiayaan, pemerintah pusat dan daerah mendirikan Rural Credit Cooperatives (RCCs) yang berbagi peran dengan bank-bank milik pemerintahan daerah.

Hasilnya, justru setelah diperkanlakn dual track system China berhasil memproduksi bahan kebutuhan pokok secara masif, saat di era Mao justru masyarakat desa mengalami kelaparan akut.

Dari sisi latar belakang, TVEs berbeda dengan gerakan Saemaul Undong di Korea, yang dijadikan sebagai ujung tombak program-program pembangunan pedesaan nasionalistik ala rezim otoriter Park Chung Hee, mulai dari pembangunan jalan desa, jembatan, irigasi, yang kemudian berakhir menjadi UKM-UKM kreatif Korea Selatan sampai hari ini.

Namun, baik TVEs maupun Saemaul Undong, terbukti bisa menjadi institusi ekonomi pedesaan yang menopang cepatnya proses industrialisasi di China dan Korea Selatan. Dan tak bisa dipungkiri, keduanya menjadi salah satu ciri khas dari suksesnya industrialisasi pedesaan di negara-negara Asia Timur, selain konglomerasi-konglomerasi seperti Chaebol di Korea atau Keiretsu di Jepang.

Bagaimana di Indonesia?

Di masa Orde Baru, rezim Soeharto sempat dipengaruhi oleh model pembangunan Asia Timur itu, yang disebut Robert Wade dengan istilah "developmental state model." Bahkan Soeharto sempat dianugerahi gelar Bapak Pembangunan karena mengadopsi model tersebut.

Keberhasilan swasembada beras Orde Baru ditopang oleh Koperasi Unit Desa (KUD) dan kelompok-kelompok tani, yang menjadi proksi ekonomi dari program-program pembangunan desa Orde Baru.

Sangat disayangkan institusi-institusi itu satu per satu tumbang. Konon, KUD-KUD yang tersisa hanya menjadi institusi ekonomi penerima bantuan pemerintah. Jika tak ada bantuan, KUD-KUD tersebut mati suri alias sangat tidak produktif dan tidak profit oriented.

Beberapa tahun belakangan, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai memasukan program pembangunan institusi ekonomi pedesaan ini ke dalam program pemerintahan nasional, dengan memunculkan istilah Badan Udaha Milik Desa (BUMDes). Pemerintah memberikan peluang bagi pemerintahan desa untuk memanfaatkan sebagian dana desa yang telah terlebih dahulu dikonstitusionalisasikan untuk membangun Badan Usaha Milik Desa, tapi gaungnya nyaris tak terdengar.

Ada satu dua yang muncul di ruang publik, terutama berupa BUMDes Wisata di beberapa desa wisata, tapi sangat tidak signifikan. Banyak persoalan yang belum selesai dengan BUMDes yang harus segera dibenahi pemerintah pusat, agar geliat ekonominya bisa segera dirasakan, terutama terkait dengan peningkatan taraf hidup masyarakat pedesaan.

Pertama soal bentuk hukum BUMDes. Sampai hari ini, BUMDes masih diposisikan sebagai unit usaha desa yang langsung berada di bawah kekuasaan dan preferensi politik kepala desa. Kondisi ini membuat BUMDes justru berada di bawah pengaruh politik kepala desa dan aparat-aparat desa lainya, bahkan berpeluang menimbulkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tingkat desa di dalam penentuan alokasi anggaran dan alokasi sumber daya manusia (SDM).

Ke depan, tentu pemerintah perlu memberikan landasan konstitusional pada status hukum BUMDes ini yang dipisahkan secara tegas dari dinamika politik sehari-hari di tingkat desa. Dengan kata lain, penentuan status hukum badan usaha desa ini akan memberi kepastian pada bentuk hubungan yang profesional antara BUMDes dengan kekuasaan desa. Sehingga BUMDes bisa menjadi badan usaha yang benar-benar didasari semangat enterprenurial dan berorientasikan keuntungan dengan ditopang manajemen dan tata kelola bisnis yang bisa dipertanggungjawabkan secara transparan.

Selanjutnya adalah soal kejelasan kepemilikan saham dan garis pertanggungjawaban. Setelah status hukum jelas, akan ada formasi kepemilikan saham dan bagaimana pembagian hasilnya. Jika berpatokan pada sumber dan model pencairan dana yang ada hari ini, otomatis saham BUMDes akhirnya dimiliki masyarakat desa via dewan perwakilan desa.

Namun saya menduga formasi tersebut tidak akan berjalan sebagaimana diharapkan, berapapun dana yang diturunkan untuk BUMDes, mengingat karakteristik masyarakat desa yang belum terlalu terpapar semangat kewirausahaan dan belum terbiasa dengan budaya korporasi.

Akan sangat baik jika pemerintah pusat menambah aturan yang berkaitan dengan dana pendamping dari pemerintah daerah, baik provinsi maupun pemerintah daerah yang dikonversikan ke dalam kepemilikan saham di BUMDes, sehingga keduanya bisa mengalokasikan SDM di kursi komisaris atau dewan pengawas di setiap BUMDes.

Dengan kata lain, dana pendamping bukan dalam bentuk anggaran untuk pemerintah desa, tapi justru dalam bentuk investasi. Untuk menghindari pengaruh politik dari pemerintah yang lebih tinggi di daerah, penyertaan modal daerah di BUMDes sebaiknya melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pula. Bahkan akan sangat produktif jika daerah mendirikan sendiri semacam local capital venture (misalnya BUMDes Capital Venture) milik pemerintah daerah yang khusus dimaksudkan untuk membesarkan BUMDes-BUMDes, ketimbang dalam bentuk kredit (seperti RCCs di China).

Dengan begitu, local capital venture ini akan sangat termotivasi untuk fokus memajukan BUMDes, membesarkan bisnisnya (sampai menjadi bankable), lalu meningkatkan valuasi sahamnya di dalam BUMDes, sebelum diprivatisasi jika memang ujungnya ingin diprivatisasi. Misalnya formasi kepemilikan sahamnya bisa 50 persen milik desa, 30 persen milik pemerintah kabupaten, dan 20 persen milik pemerintah provinsi.

Terakhir, soal buruknya sumber daya manusia BUMDes yang berimbas pada buruknya tata kelola dan rendahnya peluang untuk memonetisasi BUMDes. Pembentukan SDM BUMDes yang sesuai dengan tuntutan bisnis perlu diletakan pada konteks bisnis, dengan asumsi penyertaan modal terjadi setelah SDM dan manajemen BUMDes dianggap siap berproduksi secara komersial.

Artinya, pemerintah pusat, melalui Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kementerian Koperasi/UMKM, bersama dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, perlu bekerja sama secara intens merumuskan program pelatihan dan pembinaan SDM BUMDes, dengan menyeleksi desa-desa yang sudah menyiapkan BUMDes setengah jadi untuk ditindaklanjuti dengan pelatihan bisnis dan manajemen yang sesuai dengan tuntutan dunia usaha, mulai dari materi perencanaan bisnis, kepemimpinan, design product, marketing, managemen, digitalisasi bisnis BUMDes.

Jika Jokowi benar-benar serius dengan visi membangun Indonesia dari pinggiran, maka pengembangan BUMDes semestinya jadi ujung tombak, bukan pembangunan ibu kota baru. Bukan begitu, Pak Jokowi?

https://nasional.kompas.com/read/2022/06/10/18072391/bumdes-dan-pembangunan-ekonomi-pedesaan

Terkini Lainnya

Kata Sandiaga soal Kemungkinan Maju di Pilkada Jakarta

Kata Sandiaga soal Kemungkinan Maju di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Cegah Kader 'Mencurikan Diri' ke Partai Lain Jelang Pilkada 2024

PDI-P Cegah Kader "Mencurikan Diri" ke Partai Lain Jelang Pilkada 2024

Nasional
Demokrat Pertimbangkan Usung Keponakan Prabowo di Pilkada Jakarta 2024

Demokrat Pertimbangkan Usung Keponakan Prabowo di Pilkada Jakarta 2024

Nasional
Demokrat Tak Masalah PBB Usul Yusril Jadi Menko Polhukam Kabinet Prabowo

Demokrat Tak Masalah PBB Usul Yusril Jadi Menko Polhukam Kabinet Prabowo

Nasional
Soal Polemik UKT, Fahira Idris Sebut Paradigma Pendidikan Tinggi Perlu Dibenahi

Soal Polemik UKT, Fahira Idris Sebut Paradigma Pendidikan Tinggi Perlu Dibenahi

Nasional
Kongres VI PDI-P Mundur ke 2025

Kongres VI PDI-P Mundur ke 2025

Nasional
Hari Ini, Megawati Akan Buka Rakernas PDI-P Pukul 2 Siang

Hari Ini, Megawati Akan Buka Rakernas PDI-P Pukul 2 Siang

Nasional
Anggota TNI Bunuh Diri karena Terlilit Utang, Menkominfo: Indonesia Darurat Judi “Online”

Anggota TNI Bunuh Diri karena Terlilit Utang, Menkominfo: Indonesia Darurat Judi “Online”

Nasional
PDI-P Sebut Jokowi-Gibran Tak Diundang ke Rakernas karena Langgar Konstitusi

PDI-P Sebut Jokowi-Gibran Tak Diundang ke Rakernas karena Langgar Konstitusi

Nasional
Tak Ada Jokowi, PDI-P Undang 'Menteri Sahabat' di Pembukaan Rakernas

Tak Ada Jokowi, PDI-P Undang 'Menteri Sahabat' di Pembukaan Rakernas

Nasional
Pemerintah Ancam Tutup Telegram karena Tak Kooperatif Berantas Judi 'Online'

Pemerintah Ancam Tutup Telegram karena Tak Kooperatif Berantas Judi "Online"

Nasional
MKD DPR Buka Opsi Panggil Anak SYL, Indira Chunda Thita yang Pakai Duit Korupsi Ayahnya untuk 'Skincare'

MKD DPR Buka Opsi Panggil Anak SYL, Indira Chunda Thita yang Pakai Duit Korupsi Ayahnya untuk "Skincare"

Nasional
16 Kloter Jemaah Haji Indonesia Gelombang 2 Tiba di Jeddah

16 Kloter Jemaah Haji Indonesia Gelombang 2 Tiba di Jeddah

Nasional
Soal Pilkada Jakarta, Demokrat Buka Pintu untuk Sudirman Said, Tutup Rapat untuk Anies

Soal Pilkada Jakarta, Demokrat Buka Pintu untuk Sudirman Said, Tutup Rapat untuk Anies

Nasional
Pemerintah Ancam Denda Platform Digital Rp 500 Juta untuk Tiap Konten Judi 'Online'

Pemerintah Ancam Denda Platform Digital Rp 500 Juta untuk Tiap Konten Judi "Online"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke