Salin Artikel

Carut Marut Tenaga Honorer

Ungkapan di atas dikutip dari tulisan Putu Setia, TEMPO.CO (10/08/2019). Sang jurnalis menyebutkan bahwa pepatah itu dipopulerkan oleh Homer dan Aesop, penulis Yunani, sebelum Masehi. Keledai itu, binatang dungu dan bandel.

Pepatah itu mengingatkan agar kita belajar dari kesalahan sehingga tidak terjerembab kembali ke dalam lubang yang sama.

Lubang menganga yang membuat dunia kepegawaian kelimpungan hingga hari ini dimulai sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

Salah satu pertimbangannya karena tenaga honorer sudah lama bekerja.

PP Nomor 48 Tahun 2005 berhadap-hadapan dengan PP Nomor 98/2000 dan PP 11/2002 yang menuntut pengisian formasi yang lowong ditujukan untuk mendapatkan pegawai negeri sipil profesional.

Lebih jauh, PP tentang honorer ini berseberangan dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 yang mempertimbangakan bahwa Pegawai Negeri yang Profesional dan bertanggung jawab hanya bisa diwujudkan jika tersedianya manajemen PNS yang berkualitas.

Maka, boooom! Berdatanganlah dokumen kelengkapan pengangkatan CPNS dari penjuru Indonesia dikirim oleh Pemerintah Daerah dan instansi pusat ke Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Terjadi “penyesuaian” terhadap keabasahan dokumen untuk memenuhi persyaratan pengangkatan honorer menjadi CPNS.

Target penyelesaian honorer berdasarkan PP 48/2000 paling lambat tahun anggaran 2009 tidak tercapai.

“Penyesuaian” secara sistematis dan masif

Permasalahan pengangakatan tenaga honorer menjadi CPNS antara tahun 2005-2008, berkisar, antara lain:

1. Ijazah

Ijazah yang hilang digantikan dengan surat keterangan, namun hanya ditandatangani oleh kepala sekolah dan nama honorer tidak pernah tercatat di buku besar sekolah.

Foto dalam ijazah tidak ada, tanggal lahir berbeda dengan ijazah lainnya. Sekolah yang sudah bubar atau bahkan tidak pernah ada sekolah.

Ketika honorer menggunakan ijazah SD/SMP/SMA namun saat diusulkan untuk menjadi CPNS menggunakan ijazah sarjana, tentu saja tidak sesuai dengan data base dalam aplikasi honorer.

Ada juga ijazah yang diterbitkan oleh yayasan, tapi tidak terakreditasi di Dinas Pendidikan. Jabatan perawat atau nutrionist diisi oleh lulusan SMA atau STM jurusan Mesin.

2. Masa kerja

Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 35 tahun dan mempunyai masa kerja satu tahun atau lebih sampai dengan kurang dari 5 tahun secara terus menerus.

Dalam praktiknya, banyak ditemukan ketidak sesuaian data, namun tetap diusulkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian.

3. Sumber penggajian

Sumber penggajian seharusnya berasal dari APBD/APBN, tapi honor yang diterima berasal dari urunan pegawai atau dari sumber lain seperti dari komite sekolah atau diambil ongkos kantor.

4. Format surat keputusan sama dari tahun ke tahun

Format SK selama menjadi honorer mendadak sama dari sisi narasi, font, jenis huruf, dan penanda tangan.

Bahkan ada SK, penanda tangannya sudah pensiun atau meninggal namun tandatangan masih digunakan.

5. Tidak ada dalam database

Kepala daerah hingga anggota Dewan mendesak honorer yang tidak masuk dalam data base agar tetap diangkat.

6. Rekrutmen berdasarkan rekomendasi

Metode ini paling banyak ditemukan dalam mempekerjakan tenaga honorer. Sisi buruk metode ini berpotensi merebaknya katabelece dan menyebabkan lingkungan kerja tidak sehat.

Itu hanya beberapa permasalahan pengangkatan honorer Katagori 1. Beruntunglah honorer yang pengangkatannya sesuai dengan PP 48/2005.

Dalam beberapa kasus, serombongan honorer yang melakukan “penyesuaian” dan berhasil mendapatkan NIP.

Namun, sayangnya ada satu calon yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS), maka honorer yang tidak lolos akan melakukan protes yang berakhir dengan pembatalan NIP secara kolektif.

Pembatalan NIP berdampak psikologis yang cukup berat, baik honorer maupun pengelola kepegawaian. Pada titik ini, beberapa pejabat kepegawaian terjungkal dari kursi jabatan.

Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 48/2005 menegaskan bahwa sejak ditetapkan Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pada Pasal 6 dari PP 48/2005 juga sudah menetapkan target bahwa pengangkatan tenaga honorer selesai pada tahun 2009.

Karena tidak rampung, terbitlah PP Nomor 43/2007 hingga PP 56 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP 48/2005.

Dampak pengangakatan PNS dari tenaga honorer

Pertama, pengangkatan pegawai yang tidak selaras dengan kebutuhan organisasi akan membuat anggaran daerah habis untuk membayar gaji pegawai, sedangkan pembangunan infrastruktur terbengkalai.

Dikutip dari Banda Aceh-KemenagNews (18/12/2012), setidaknya ada 11 kabupaten/kota yang menghabiskan 70 persen lebih APBD-nya untuk belanja pegawai, termasuk gaji dan pekerja honorer.

Kabupaten/kota tersebut, yakni Kota Langsa (77 persen), Kabupaten Kuningan (74 persen), Kota Ambon (73 persen), Kabupaten Ngawi (73 persen), Kabupaten Bantul (72 persen), Kabupaten Bireun (72 persen), Kabupaten Klaten (72 persen), Kabupaten Aceh Barat (71 persen), Kota Gorontalo (70,3 persen), Kabupaten Karanganyar (70,1 persen), dan Kota Padangsidempuan.

Kedua, distribusi pegawai antara instansi pusat, pemerintah daerah, atau bahkan dalam satu perangkat daerah tidak seimbang.

Ketidakseimbangan jumlah pegawai dengan beban kerja akan mengganggu tugas dan fungsi organisasi karena pengisian formasi tidak didahului dengan analisis beban kerja.

Ketiga, tenaga honorer belum tentu memiliki kompetensi teknis untuk melaksanakan tugas dan fungsi jabatan.

Seperti CPNS lulusan Sekolah Dasar (SD) yang menjadi guru di SD. Walau diwajibkan untuk memiliki ijazah pendidik setelah ditetapkan menjadi PNS, tetap akan terjadi gap competency.

Keempat, perubahan perilaku honorer pascapengangkatan PNS. Banyak tenaga honorer diperbantukan untuk melayani pimpinan, sehingga merasa dekat dengan pengambil keputusan.

Tenaga honorer seperti ini akan berlaku baik dan sopan dengan pegawai senior. Namun setelah diangkat menjadi PNS, perilaku mereka berubah dan tidak mau lagi “menganggap” pegawai senior.

Kelima, Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang merupakan jabatan politik (political appointee) dan anggota Dewan (paling tidak antara 2005 hingga 2014), sangat bergairah untuk “memperjuangkan” honorer menjadi PNS dengan mendesak instansi pusat.

Apabila ini berlanjut, PNS bisa menjadi tidak netral bahkan menjadi mesin politik kepala daerah atau anggota Dewan.

Penghapusan honorer

Pemerintah sudah mendeteksi carut marut berkepanjangan yang akan terjadi disebabkan tenaga honorer. Penghapusan tenaga honorer sudah dihembuskan oleh Menteri Tjahjo Kumolo.

Melaui Surat Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, tenaga honorer akan dihapus paling lambat pada 28 November 2023 (Kompas, 3/6/2022).

Menurut Menteri PAN & RB Tjahjo Kumolo, standar pengupahan tenaga honorer tidak jelas.

Sementara Gubenur Bengkulu Rohidin Mersyah mengatakan, penggajian honorer sudah terang benderang. Ia menolak penghapusan honorer.

"Saya kira alokasi penganggaran gajinya sudah jelas. Saya akan sampaikan ke Menteri nanti," ungkap Rohidin.

Wali Kota Salatiga, Yuliyanto, juga bersikap sama menolak penghapusan tenaga honorer.

"Saya akan pertahankan tenaga kontrak, honorer dan THL karena mereka sudah lama bekerja di pemerintahan Kota Salatiga dan menjadi tulang punggung keluarga," jelasnya, Rabu (19/1/2022).

Entah siapa yang sebenarnya diuntungkan rekrutmen tenaga honorer ini. Yang pasti, menurut Putu Setia, pada akhir abad ke-20 sejumlah ahli hewan menyimpulkan: keledai tidaklah bodoh-bodoh amat.

https://nasional.kompas.com/read/2022/06/08/06000021/carut-marut-tenaga-honorer

Terkini Lainnya

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Nasional
Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Nasional
Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Nasional
Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Nasional
KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

Nasional
KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke