JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) akan mengklarifikasi kepada Kapolda Bengkulu Irjen Agus Wicaksono terkait penetapan tersangka 40 petani di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu.
"Kompolnas sangat concern dengan masalah ini. Kami akan melakukan klarifikasi kepada Kapolda Bengkulu terkait masalah ini, mengingat jumlah orang yang ditangkap dan dijadikan tersangka ada 40 orang," ujar Komisioner Kompolnas Poengky Indarti kepada wartawan, Selasa (17/5/2022).
Ia berharap, penyidik dapat mempertimbangkan untuk menangguhkan penahanan puluhan petani tersebut.
"Kami melihat mereka yang ditahan adalah tulang punggung keluarga, sehingga akan menyulitkan keluarga jika tulang punggung keluarga ditahan," ujarnya.
Di sisi lain, ia mengatakan, para pihak yang keberatan dengan penangkapan ini dapat mengajukan praperadilan.
"Terkait penangkapan, penahanan, dan penetapan status tersangka, pihak yang keberatan dapat mengajukan permohonan praperadilan guna menguji sah tidaknya penangkapan, penahanan, dan penetapan status tersangka tersebut," imbuh Poengky.
Duduk perkara konflik
Konflik ini berawal dari kepemilikan lahan yang semula ditanami para petani dengan berbagai hasil bumi seperti jengkol, padi, kopi, dan lainnya, yang diambil oleh sebuah perusahaan bernama PT Bina Bumi Sejahtera (BBS) seluas 1.889 hektar pada 1995 lalu.
Namun, pihak perusahaan hanya melakukan aktivitas penanaman komoditas kakao seluas 350 hektar.
Setelahnya, terjadi penelantaran lahan berstatus hak guna usaha (HGU) itu sejak 1997 atau selama 25 tahun hingga sekarang.
Warga yang mengaku mendapatkan ganti rugi berinisiatif untuk kembali menanami lahan telantar yang masih produktif itu.
Pada tahun 2005, lahan PT BBS yang telah dikelola oleh masyarakat tersebut diambil alih oleh PT Daria Dharma Pratama (DDP) melalui keterangan akta pinjam pakai antara PT DDP dan PT BBS.
Bermodalkan klaim tersebut, PT DDP melakukan pengusiran secara paksa terhadap masyarakat yang telah menggarap lahan HGU telantar PT BBS dengan melakukan penanaman komoditas sawit, memaksa ganti rugi, dan melakukan tindakan represif.
Kuasa hukum para petani, Akar Law Office, menyebut bahwa masyarakat mengupayakan pada pemerintah agar lahan itu bisa kembali dikuasai para petani, tapi selalu gagal.
Kemudian pada Maret 2022, polisi dan Brimob mengawal PT DDP melakukan aktivitas perkebunan.
Pondok 13 petani terbakar, satu petani dipukul dan ditangkap di luar prosedur.
Lalu, pada Kamis (12/5/2022), puluhan petani memanen sawit di lahan tersebut, bertepatan dengan pihak perusahaan yang juga sedang memanen di lahan yang sama.
Humas PT DDP, Samirana bersikeras bahwa pihak perusahaan memiliki legalitas yang jelas secara hukum di lahan tersebut.
"Tidak ada sejengkal pun tanah mereka itu. Mereka cuma mengaku-ngaku saja. Kami bebaskan tanah itu secara hukum dengan musyawarah dan ganti rugi. Mereka mengaku-ngaku," kata Samirana.
Mereka mengaku meminta bantuan Brimob karena beberapa petugas keamanan PT DDP pernah mendapat intimidasi dan dipukuli masyarakat.
https://nasional.kompas.com/read/2022/05/17/17080191/kompolnas-minta-penahanan-40-petani-bengkulu-ditangguhkan-akan-klarifikasi