JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI-P Rahmad Handoyo mendesak pemerintah bertindak cepat dalam kemandirian untuk produksi vaksin dalam negeri.
Hal tersebut dimintanya sebagai langkah antisipasi timbulnya penyakit hepatitis misterius yang belakangan diperbincangkan publik.
"Untuk mengantisipasi penyakit hepatitis akut misterius serta penyakit-penyakit menular yang diakibatkan virus lainnya, kita mendorong pemerintah untuk lebih berdikari dan berdaulat di bidang kesehatan terutama di penciptaan vaksin,” kata Rahmad dalam keterangannya, Selasa (17/5/2022).
Rahmad menilai, berkaca dari penanganan pandemi Covid-19, ditambah munculnya penyakit hepatitis akut misterius, Indonesia terlambat menciptakan kemandirian di bidang vaksin.
Apalagi, lanjut Rahmad, Indonesia masih mendatangkan 100 persen vaksin dari luar negeri. Sementara, vaksin Merah Putih masih dalam proses.
"Kondisi ini kan membuktikan kita sangat terlambat dalam membuat vaksin dalam negeri karena vaksinasi kesatu, kedua dan sudah hampir selesai, vaksinasi tinggal sedikit yakni vaksin booster,” terangnya.
Rahmad meyakini, secara keilmuan Indonesia tidak kalah dengan negara-negara lain dalam menciptakan vaksin.
Sebab, menurutnya ilmu dan teknologi untuk menciptakan vaksin sama saja.
“Mungkin yang menjadi kendala, adalah masalah anggaran. Kita tahu, untuk melakukan uji klinis hingga tahap ketiga dibutuhkan anggaran hingga ratusan miliar," jelasnya.
Oleh karena itu, dia juga mendorong pemerintah untuk memberikan dukungan anggaran terhadap produksi vaksin dalam negeri.
Dia mengingatkan, Indonesia sebagai bangsa harus bisa membuat vaksin sendiri dan tidak tergantung dari luar negeri.
Menurut Rahmad, ada dua manfaat nyata jika Indonesia berdaulat dan mandiri di bidang vaksin.
"Manfaat pertama, vaksin bisa memenuhi kebutuhan bangsa sendiri sehingga Indonesia bisa lebih awal melindungi rakyatnya dan tidak tergantung dari vaksin dari luar negeri," ucapnya.
"Kedua dari sisi anggaran, anggaran devisa kita akan lebih hemat karena tidak lagi membeli vaksin dari luar negeri," sambung politisi PDI-P itu.
Rahmad menambahkan, mengingat memang anggaran besar dibutuhkan untuk uji klinis vaksin, akan lebih baik jika terlebih dahulu fokus penelitian dilakukan uji praklinis di tingkat laboratorium.
Pasalnya, uji praklinis itu dinilai tidak membutuhkan biaya yang besar.
“Kalau memang ternyata penyakitnya tidak berlanjut membahayakan ya, sudah tidak usah lagi dilanjut kepada tahap klinis uji klinis satu dua dan tiga karena ternyata penyakitnya bisa dikendalikan,” katanya.
Sebagai informasi, Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Siti Nadia Tarmizi mengatakan, data terakhir menunjukkan ada tujuh kasus kematian anak yang diduga akibat hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya.
"Iya (tujuh kasus meninggal diduga akibat hepatitis akut), tambahan satu dari DKI Jakarta dan satu Kalimantan Timur," kata Nadia saat dihubungi Kompas.com, Kamis (12/5/2022).
Kemenkes sebelumnya melaporkan, ada lima kasus kematian anak diduga akibat hepatitis akut di Indonesia yaitu tiga kasus di DKI Jakarta, satu kasus di Jawa Timur dan satu kasus di Sumatera Barat.
https://nasional.kompas.com/read/2022/05/17/08551521/berkaca-pandemi-covid-19-dan-hepatitis-misterius-pemerintah-didesak-ciptakan