Salin Artikel

Mewaspadai Politisasi Agama Menjelang 2024

Saat ini pasca-Idul Fitri, aura politisasi agama sudah mulai terasa. Dari yang samar-samar maupun yang terbuka dan dilakukan oleh hampir semua aktor politik.

Terutama pada saat konstestasi politik menjelang Pemilihan Legislatif dan Presiden tahun 2024.

Karena sesungguhnya tidak ada kehidupan manusia dalam beragam dimensinya yang tidak terkait dengan politik, termasuk dalam hal kehidupan beragama.

Agama sejatinya adalah penguat hubungan antarmanusia, meski berbeda iman. Namun realitasnya senantiasa ada aktor politik dan agama yang mempertentangkan dan mendegradasikan peran suci agama untuk tujuan politik.

Dan politik yang makna awalnya adalah positif, untuk menghadirkan kebajikan publik perlu diterangi oleh nilai agama.

Terdapat realitas yang diametral, sebagaimana yang diungkap Gus Dur, “Agama mengajarkan pesan-pesan damai. Namun para ekstremis akan memutar balikkannya. Kita butuh agama yang ramah, bukan agama yang marah.”

Politisasi agama adalah sebuah realitas yang memprihatinkan. Politisasi agama digemari karena merupakan cara yang relatif praktis, murah untuk merebut emosi dan simpati masyarakat.

Utamanya bagi masyarakat yang minim literasi politik dan minim rasionalitas.

Bahkan yang rasionalitasnya baik pun, namun minim etika, maka politisasi agama adalah peluang yang dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk memenangkan konstestasi politik.

Di antaranya memanfaatkan simbol agama dan dukungan tokoh-tokoh agama yang menjajakan ayat dan fatwa agama untuk kepentingan politik, agar kandidatnya bisa terpilih.

Termasuk branding diri untuk mencitrakan diri sebagai penganut agama yang taat, meski setelah kekuasaan dapat direbut, kembali ke karakter aslinya yang tentu berbeda.

Dan pemanfaatan sentimen SARA untuk mendegradasikan lawan politik dengan framing dan label negatif kemudian disemburkan melalui para buzzer dengan narasi yang provokatif dan ujaran kebencian.

Contoh sederhana, semisal, ungkapan diksi dan narasi “Cebong” dan “Kadrun” yang sengaja di pelihara dan disemburkan oleh sebagian aktor yang ada di kedua kubu dengan bumbu olok-olok, disinformasi, data yang sengaja dikelirukan, dan label negatif sejenisnya.

Narasi provokatif yang masih mudah kita temuai di kedua kubu yang berseberangan.

Hal yang sesungguhnya bertentangan dengan esensi agama yang mengajarkan cinta kasih, kerja sama dan penghormatan sesama umat manusia, meski berbeda suku, ras dan agama.

Regulasi mengenai SARA telah diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 menggariskan pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain. Mereka diharamkan pula menghasut dan mengadu domba.

Namun realitasnya masih mudah kita jumpai di medsos maupun di dalam kehidupan nyata ungkapan narasi provokatif. Juga disebabkan karena belum tegasnya kriteria dan definisi tentang politisasi agama.

Maka diperlukan regulasi yang mampu memberi definisi yang jelas berupa norma yang diperlukan untuk membatasi orang melakukan politisasi agama.

Jika ada yang menerabas batas, maka hakekatnya adalah penegakan hukum bukan dimaknai “kriminalisasi” tokoh agama.

Saya sepakat dengan Buya Syafii Maarif yang mendeskripsikan dan memaknai politisasi agama adalah "Penggunaan agama untuk tujuan politik tanpa moral, etika, dan akal sehat".

Hal yang sesungguhnya berbahaya kalau dibiarkan jangan sampai yang terjadi di Suriah, Libya, Irak dan Afganistan konflik suku dan agama dalam balutan politik, menjadi konflik yang tidak berkesudahan terjadi di Indonesia.

Menurut hemat saya, pengusung Islamophobia dan phobia terhadap agama lain dalam bentuk narasi provokatif dan destruktif hakikatnya adalah aktor politisasi agama, dengan memanfaatkan simbol dan praktik ritual agama yang di-framing untuk mendegradasikan kandidat calon pemimpin atau kelompok yang berseberangan.

Contoh global juga dipraktikkan oleh Donald Trump dengan menyebarkan Islamophobia saat kampanye pilpresnya dengan melarang masuknya imigran Muslim.

Juga dipraktikan kandidat Presiden Perancis, LePen yang kebijakannya akan melarang pemakaian jilbab di tempat umum jika terpilih.

Demokrasi yang telah menjadi pilihan bagi Indonesia harus diterapkan secara konsisten dalam berbagai aspeknya.

Demokrasi dalam praktik politiknya harus menghadirkan vitue (meminjam istilah Plato) atau kebiasaan dan kebajikan publik.

Ketika budaya demokrasi sudah terbangun secara mapan, maka kemungkinan konflik dan kekerasan yang terkait agama dapat dicegah.

Nilai demokrasi mengakui bahwa perbedaan dan keragaman adalah realitas yang harus diterima dan dirayakan.

Karena keragaman akan menghasilkan inovasi dan kreatitas adalah energi positif bagi kemajuan bangsa.

Sesungguhnya umat Islam dan umat agama lain di Indonesia sejatinya tidak perlu lagi diajarkan tentang toleransi beragama.

Karena sudah sejak dahulu toleransi telah dipraktikkan bahkan diapresiasi dunia internasional.

Nilai profetik Islam tidak mengajarkan bermusuhan dengan lingkaran kekuasaan selama kekuasaan diarahkan untuk kepentingan rakyat, dapat berlaku adil kepada siapa pun yang melanggar aturan hukum, dapat menjaga harkat dan harmoni sesama manusia tanpa melihat suku, ras dan agama.

Karena setiap agama mengajarkan kebaikan, kedamaian, ketenangan dan hidup rukun antarsesama warga negara.

Pelibatan agama dalam politik oleh penganutnya secara ideal diharapkan untuk turut mengawal agar praktik politik sesuai dengan etika nilai luhur agama, membangun identitas dan solidaritas sosial atas dasar universalitas nilai agama.

Karena di sebagian besar negara di dunia, agama tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari negara, maka agama pun tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari politik termasuk di negara-negara barat yang sebagian besar penganut sekuler.

Politisasi SARA, terutama agama, selain rentan menimbulkan perpecahan, membuat masyarakat teralihkan dari yang seharusnya melihat kualitas serta program kandidat menjadi sekadar menengok identitas-identitas primordial.

Pancasila, sangat menghormati kedudukan agama. Agama bahkan sering dilibatkan dalam legitimasi politik untuk menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan.

Namun, pelibatan agama dalam politik perlu diekspresikan dengan santun dan menegasikan prosesi politik negatif yang memiliki kecenderungan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan.

Sehingga pelibatan agama sejatinya tidak menimbulkan perpecahan, kebencian dan konflik SARA.

Dalam konteks relasi agama dan politik, ajaran Islam sesungguhnya sudah jelas menyatakan keharusan berbuat adil termasuk terhadap kelompok yang tidak disukai (Q.S. al-Maidah: 8), larangan komersialisasi atau manipulasi ayat Al-Quran (Q.S. al-Baqarah: 41), larangan fitnah dan adu domba (Q.S. al-Qalam: 10-11 dan Q.S. al-Lumazah: 1), dan larangan mengolok-olok atau membenci kelompok lain (Q.S. al-Hujurat: 11 dan al-An’am: 108).

Agar relasi agama dan politik ada di jalan yang benar, maka diperlukan kesadaran semua pihak, terutama tokoh politik dan tokoh agama, akan pentingnya selalu menjaga persatuan bangsa.

Politisasi agama akan merendahkan posisi agama hanya sebagai alat memperoleh kekuasaan dan potensial menimbulkan konflik.

Bahkan potensial akan saling bunuh sesama anak bangsa yang seiman maupun yang berbeda iman karena politisasi agama ditumbuh suburkan.

“Wallaahu ya’lamu wa antum laa ta’lamun”. Ya Allah aku berlindung kepada kasih sayangMu. Dan dari gelapnya politik tanpa cahaya ilahi. Semoga!

https://nasional.kompas.com/read/2022/05/09/06300011/mewaspadai-politisasi-agama-menjelang-2024

Terkini Lainnya

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Nasional
Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Nasional
Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Nasional
Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Nasional
KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

Nasional
KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke