Salin Artikel

Mukjizat Multikultural Dalam Hukum

Perbedaan pandangan yang diikuti kesenjangan latar pendidikan kerap menjadi pemantik kegaduhan dibandingkan berkah bagi ruang publik. Apalagi dengan digitalisasi di semua aspek, turut memperdalam dan memperluas jangkauan konflik.

Dengan kata lain, kondisi-kondisi sosio-psikis untuk retak sebagai bangsa lebih terbuka dibandingkan solidaritas dan persatuan. Rasa-rasanya sampah seteru "kampret" dan "kadrun" sisa kerasnya Pilpres 2019 masih berbayang hingga saat ini. Seolah-olah masuknya Prabowo Subianto pada kabinet pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tidak berdampak apapun.

Dalam suasana mendung seperti itu, sepertinya, merefleksi pikiran filsuf Jurgen Habermas menjadi menarik untuk dijadikan alat teropong dan alternatif untuk merajut multikultural Indonesia sebagai vitamin perekat sebagai bangsa. Bukan sebaliknya.

Ide Habermas

Juergen Habermas merupakan filsuf tokoh marxisme Barat, generasi kedua Frankfurter Schole, pendiri lembaga penelitian sosial di Goethe Universitaet. Habermas meyakini bahwa masyarakat multikultural memerlukan komunikasi sebagai faktor integratif masyarakat kompleks.

Komunikasi, atau lebih tepatnya rasio komunikatif, bekerja dalam setiap aktor sosial sebagai organizing principle dalam masyarakat kompleks. Dalam konteks ini, Habermas melihat hukum sebagai sabuk pengaman terakhir bagi integritas sosial.

Hukum dalam konteks teori komunikasinya Habermas dapat menjadi engsel penghubung antara negara dan pasar di satu pihak, dan masyarakat luas di lain pihak. Bagi Habermas, ada dua manfaat ganda dari hukum. Di satu sisi, hukum membuka ruang bagi tindakan-tindakan strategis sehingga hukum dapat dipakai alat pemaksa. Di sisi lain, hukum itu harus dihasilkan dari konsensus rasional (harus legitimate).

Dengan kata lain, hukum menjembatani antara tindakan strategis dan tindakan komunikatif. Inilah yang kemudian ditempatkan dalam paradigma besar demokrasi deliberatif, sebagai bentuk gagasan Habermas untuk meningkatkan mutu demokrasi sekaligus hukum secara serempak (F Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, 2007).

Secara lebih mendalam, sebenarnya, Habermas tidak sedang menuliskan teori demokrasi baru. Dia meradikalkan konsep demokrasi yang ada. Bagi Habermas, demokrasi deliberatif hendak mengusung peningkatan intensitas partisipasi warga negara dalam pembentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah. Atau dengan kata lain, dimensi-dimensi legal harus dibarengi pula dimensi legitimasi.

Dalam kasus kekinian di Indonesia, gagasan Habermas seakan mendapat momentum manakala banyak kritik atas pembentukan undang-undang yang kerap kurang mengakomodasi optimalisasi partisipasi publik. Hal ini diafirmasi, salah satunya, oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji formal UU Cipta Kerja, yang salah satu pertimbangan pembatalan bersyarat dari UU Cipta Kerja itu adalah karena absennya unsur partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan UU Cipta Kerja.

Basa basi

Dalam pidato resmi, kerap kemajemukan, multikultural, bineka menjadi sesuatu yang meluncur fasih dalam ungkapan pejabat publik. Namun realitasnya, kadang-kadang perbedaan terus diproduksi untuk semakin diperlihatkan jaraknya.

Tanpa ada upaya mencari titik singgung. Saling pemahaman. Kerap, arogansi lebih muncul ketika menilai orang yang berbeda paham. Labeling "kadrun", "cebong", "kampret" dan sebagainya, meluncur mudah. Tanpa ada refleksi ketat dan kuat untuk merenungi implikasinya atas paham kebangsaan yang susah payah diperjuangkan pendiri negara.

Hukum pun, sarat menampakan wajah kerasnya dengan kapitalisasi sanksi. Tanpa melihat aspek sosio-kultural, kenapa pelanggaran hukum mewabah. Apakah karena mencerminkan kondisi anomie atau ada semacam luka ketidakadilan yang tidak pernah diatasi dengan sungguh-sungguh?

Maka, dalam konteks dan keadaan di atas, dimensi multikultural dalam pembentukan hukum seharusnya menjadi mukjizat. Setidaknya, hukum Indonesia lahir dari keberlimpahan wawasan keragaman baik pandangan, budaya, maupun bahasa.

Dengan begitu, hukum yang diharapkan menjadi perekat antara negara dan pasar satu sisi dan masyarakat luas di sisi lain, seperti yang diidamkan Habermas dapat merealitas.

Ini tentu memerlukan energi besar. Jiwa kenegawarawan di tokoh dan pemuka publik memiliki kontribusi besar untuk itu. Keberanian mengesampingkan kepentingan sektarian dan mengutamakan kepentingan publik lebih luas harus menjadi etos dan etika semua pihak.

Tentu ini bisa terwujud jika seturut itu diikuti pula oleh integritas para panutan publik. Integritas ini harus menjadi paradigma saat hendak mewujudkan Indonesia lebih baik. Tanpa integritas, semua kebijakan jadi basa basi, sekedar menutupi kepentingan oligarki yang menggerogoti bangunan bernegara. Untuk itu, perlu usaha serius dari kita semua. Mumpung masih ada waktu.

https://nasional.kompas.com/read/2022/05/06/06084181/mukjizat-multikultural-dalam-hukum

Terkini Lainnya

KSAU Tinjau Kesiapan Pengoperasian Jet Tempur Rafale di Lanud Supadio Pontianak

KSAU Tinjau Kesiapan Pengoperasian Jet Tempur Rafale di Lanud Supadio Pontianak

Nasional
Jokowi: Alat Komunikasi Kita Didominasi Impor, Sebabkan Defisit Perdagangan Rp 30 Triliun

Jokowi: Alat Komunikasi Kita Didominasi Impor, Sebabkan Defisit Perdagangan Rp 30 Triliun

Nasional
Wapres Ma’ruf Amin Minta Penyaluran Dana CSR Desa Diperhatikan agar Tepat Sasaran

Wapres Ma’ruf Amin Minta Penyaluran Dana CSR Desa Diperhatikan agar Tepat Sasaran

Nasional
Hakim MK Tegur KPU karena Renvoi Tak Tertib dalam Sengketa Pileg

Hakim MK Tegur KPU karena Renvoi Tak Tertib dalam Sengketa Pileg

Nasional
Soal Silaturahmi Kebangsaan dengan Presiden dan Wapres Terdahulu, Bamsoet: Tinggal Tunggu Jawaban

Soal Silaturahmi Kebangsaan dengan Presiden dan Wapres Terdahulu, Bamsoet: Tinggal Tunggu Jawaban

Nasional
Hormati Ganjar, Waketum Gerindra: Sikap Oposisi Bukan Pilihan yang Salah

Hormati Ganjar, Waketum Gerindra: Sikap Oposisi Bukan Pilihan yang Salah

Nasional
Ganjar Pilih di Luar Pemerintahan, Bamsoet: Boleh, tapi Kita Bekerja Gotong Royong

Ganjar Pilih di Luar Pemerintahan, Bamsoet: Boleh, tapi Kita Bekerja Gotong Royong

Nasional
Hanya Ada 2 'Supplier' Indonesia yang Pasok Perangkat untuk Apple, Jokowi: Memprihatinkan

Hanya Ada 2 "Supplier" Indonesia yang Pasok Perangkat untuk Apple, Jokowi: Memprihatinkan

Nasional
Jokowi Resmikan Indonesia Digital Test House, Anggarannya Hampir 1 Triliun

Jokowi Resmikan Indonesia Digital Test House, Anggarannya Hampir 1 Triliun

Nasional
KPK Didesak Usut Pemberian THR ke Anggota DPR dari Kementan, Panggil Bersaksi dalam Sidang

KPK Didesak Usut Pemberian THR ke Anggota DPR dari Kementan, Panggil Bersaksi dalam Sidang

Nasional
Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Nasional
KPU Ungkap Formulir C.Hasil Pileg 2024 Paniai Dibawa Lari KPPS

KPU Ungkap Formulir C.Hasil Pileg 2024 Paniai Dibawa Lari KPPS

Nasional
Soal 'Presidential Club' Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Soal "Presidential Club" Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Nasional
KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke