Salin Artikel

Masalah Minyak Goreng Dianggap Jadi Momen untuk Pemerintah Perpanjang Moratorium Sawit

Langka dan mahalnya minyak goreng, serta kasus korupsi yang menjerat 3 korporasi raksasa sawit baru-baru ini, dinilai menjadi bukti bahwa moratorium selama 3 tahun Itu belum berhasil memperbaiki tata kelola industri sawit secara menyeluruh.

"Menurut saya, bisnis ini jangan dilihat hanya sepotong saja soal minyak goreng. Kalau mau diperbaiki, ya dari hulu ke hilir. Tata kelolanya itu berawal dari, katakanlah, kebun sawit ke minyak goreng sebagai produk akhirnya," ujar Deputi Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo, kepada wartawan di Kementerian Perdagangan pada Jumat (22/4/2022).

Dengan melihat industri sawit dari kacamata yang lebih luas, maka masalah langka dan mahalnya minyak goreng saat ini tak terlepas dari karut-marut di hulunya.

Industri sawit saat ini terkonsentrasi ke korporasi-korporasi raksasa yang menguasai lebih dari 50 persen kebun-kebun sawit di Tanah Air.

"Ketika sudah ada konglomerasi penguasaan lahan yang besar, maka sampai hilirnya pun akan dilakukan konglomerasi. Buktinya apa, ketika pemerintah melepas harga ke pasar, langsung membanjir minyak gorengnya," ujar Rambo.

Salah satu pangkal masalah konglomerasi ini, menurut Rambo, adalah tidak dibatasinya luas maksimum kepemilikan kebun untuk perusahaan-perusahaan berstatus go public.

Ketentuan itu termuat dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007, tepatnya Pasal 12 ayat (2).

"Review perizinannya yang menurut kami tidak berjalan dengan baik," ujar Rambo.

Senada, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga menyoroti kemudahan izin bagi korporasi sawit yang semakin longgar.

“Luasan sawit kita itu melejit jauh, 1980 kita hanya punya 200.000 hektar sawit, lalu pada 2009 7,2 juta hektar, dan sekarang sawit di Indonesia seluas 14,9 juta hektar," kata manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI Uli Siagian dalam keterangannya, Jumat.

Luasan ini diprediksi masih akan terus melesat karena Indonesia telah memiliki Undang-undang Cipta Kerja yang, meski saat ini dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, dibuat dengan semangat mempermudah perizinan.

Uli menjelaskan, bukan hanya kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat akibat buruknya tata kelola industri sawit Indonesia.

Berbagai kebakaran hutan dan lahan, konflik agraria, pelanggaran HAM, perampasan tanah, serta banjir dan longsor juga tak dapat dipisahkan dari hal tersebut.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, 80 persen dari konflik perkebunan seluas 276 juta hektar pada 2021 terjadi di perkebunan sawit.

“Melihat persoalan-persolan yang dihasilkan industri sawit hari ini, sudah seharusnya pengurus negara mengambil tindakan untuk mengevaluasi seluruh perizinan sawit di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang selama ini berkonflik dengan rakyat, tanahnya harus kembali kepada rakyat. perusahaan yang terbukti melanggar aturan hukum harus dicabut dan ditagih tanggungjawab pemulihannya,” ungkap Uli.

"Sekarang, seharusnya tidak boleh ada lagi izin perkebunan sawit baru. Moratorium izin sawit harus diperpanjang untuk memproteksi wilayah-wilayah Kelola rakyat yang ada, serta memproteksi hutan-hutan Indonesia," tutupnya.

https://nasional.kompas.com/read/2022/04/22/15122411/masalah-minyak-goreng-dianggap-jadi-momen-untuk-pemerintah-perpanjang

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke