Salin Artikel

Big Data untuk Pemilu

Tidak perlu mengungkit apa yang telah terjadi. Drama kolosal itu biarlah menjadi bagian dari sejarah perkembangan demokrasi negara ini.

Untuk mewujudkan negara sesuai kehendak segenap warga bangsa yang heterogen ini, kita tentu harus melalui proses pembelajaran, yang memerlukan pengorbanan.

Kita telah melampaui masa kritis ini dengan selamat. Kini kita perlu fokus pada penyelenggaraan Pemilu 2024, agar berlangsung dengan sukses dan lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya.

Partai-partai peserta Pemilu 2024 saat ini tentu sedang menghimpun data calon pemilih selengkap mungkin.

Tujuannya untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya bagi calon-calon anggota lembaga legislatif dan eksekutif, dari tingkat lokal hingga nasional.

Manfaat penguasaan Big Data untuk pemilu dibuktikan oleh Barack Obama pada saat kampanye Pilpres di AS tahun 2012.

Ia mengubah pola kampanye konvensional yang mengandalkan iklan di media massa dengan mengirimkan pesan langsung melalui media sosial kepada calon pemilih yang ditargetkan.

Saya membayangkan Tim kampanye Obama mengolah data digital untuk mengetahui persoalan apa yang menjadi perhatian setiap calon pemilih.

Kemudian materi kampanye didesain untuk memberi solusi pada persoalan yang dihadapi setiap calon pemilih.

Untuk itu digunakan data diri setiap calon pemilih yang jumlahnya ratusan juta orang.

Big Data telah tersedia saat itu sehingga tidak sulit bagi Tim Kampanye Obama untuk mendapatkan dan memanfaatkannya.

Intinya, setiap orang mendapat pesan pribadi dari Obama bahwa sebagai presiden ia akan mengatasi masalah yang dihadapinya dengan program-program yang telah disiapkan untuk itu, bukan program umum untuk semua kelompok masyarakat.

Saat ini pemanfaatan Big Data telah ada di sekitar kita. Tentu pembaca pernah disuguhi iklan suatu barang yang sedang kita cari pada saat membaca berita dari koran online.

Atau menerima pesan singkat (SMS) yang berisi ucapan ulang tahun dari suatu perusahaan, atau pemberitahuan untuk mengganti oli mobil, memperpanjang surat kendaraan, membayar pajak, waktu untuk memeriksakan kesehatan, dan juga tentang vaksin dan protokol kesehatan.

Mungkin juga akan ada pesan untuk meminum obat yang dibeli dari apotek, membeli pupuk tanaman tertentu, atau gunting rambut dengan model terbaru, dan sebagainya. Itu semua dapat terjadi berkat adanya Big Data.

Big Data berkembang terus di banyak negara seiring dengan meluasnya infrastruktur teknologi informasi.

Data dikumpulkan melalui berbagai cara, seperti mengisi formulir saat pendaftaran, melalui sensus dan survei, melalui pengiriman teks, gambar, suara atau video melalui media sosial tanpa disadari.

Seberapa besar Big Data itu? Ada 500 juta cuitan melalui Twitter yang dikirim orang setiap hari di AS pada tahun 2013 saja.

Belum lagi informasi yang dikirim melalui media sosial lain (Facebook, Youtube, Instagram, Whatsapp, dsb.), juga website, blog, dll.

Tidak semua data dapat dibuka secara legal karena menyangkut rahasia pribadi, rahasia bisnis, keamanan nasional, dsb.

Singkatnya ada kumpulan data dengan volume yang sangat besar di awan-awan sana, yang dihimpun oleh banyak pihak, seperti pemerintah, bisnis, lembaga riset, dan mungkin perorangan.

Data itu mudah diambil, diolah dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti: bisnis, sosial, politik, pelayanan masyarakat, keamanan, dan sebagainya, termasuk untuk kampanye politik.

Namun Big Data bukan segalanya. Penggunaan Big Data bisa salah. Barangkali pembaca ingat cerita ini.

Seorang pemabuk sedang sibuk mencari kunci yang hilang di suatu tempat yang terang karena terkena sinar lampu jalan.

Seorang polisi menghampiri pemabuk itu dan bertanya: “Kamu sedang apa?”

Pemabuk itu menjawab: “Kunci saya hilang, tetapi saya tidak menemukannya di sini.”

Polisi bertanya lagi: “Kamu ingat di mana kuncimu terjatuh?”

Pemabuk menjawab: “Iya tahu, di sebelah sana.”

Polisi: “Mengapa kamu tidak mencari di sana?”

Pemabuk: ”Karena di sana gelap.”

Di luar sana ada saja orang-orang yang bersikap seperti pemabuk itu. Mereka mencoba menemukan sesuatu di tempat yang mudah melakukan, namun tentu saja tidak akan menemukan karena memang tidak ada di sana.

Suatu Big Data bisa menjadi tempat yang menjanjikan untuk mengetahui pola perilaku tertentu suatu kelompok masyarakat.

Namun karena Big Data yang diambil salah, maka seorang peneliti tidak menemukan pola perilaku tertentu yang sesungguhnya.

Paling jauh ia hanya menyimpulkan atribut pola perilaku tertentu yang mendekati pola perilaku yang sebenarnya, ditambah saran untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Dengan sampel data yang besar, Big Data dalam kasus itu tidak memberi hasil seperti yang diharapkan.

Hal itu karena data yang diolah bukanlah data tentang subyek yang diteliti, melainkan data tentang subyek yang datanya tersedia dalam jumlah besar.

Sebagai misal, subyek yang diteliti adalah masyarakat yang paling miskin, dan Big Data yang tersedia adalah statistik penduduk menurut kelompok pengeluaran.

Contoh nyata terkait ketidaksempurnaan Big Data adalah pemilihan presiden AS tahun 1936, ketika Gubernur Kansas Alfred Landon menantang petahana Presiden Franklin Delano Roosevelt.

Untuk memrediksi siapa yang akan menang, majalah The Literary Digest membuat jajak pendapat secara masif melalui pos dengan target 10 juta responden. Jumlah ini sekitar seperempat jumlah pemilih.

Setelah memroses sekitar 2,4 juta jawaban yang masuk, The Literary Digest menyimpulkan bahwa Alfred Landon lah yang akan menang.

Namun ada peneliti lain yang memberikan prediksi sebaliknya. Peneliti ini membuat survei opini dengan jumlah sampel lebih sedikit, yang respondennya dipilih dengan cermat untuk mewakili kelompok Republik, Demokrat dan independen.

Sejarah mencatat pemenangnya adalah Franklin Delano Roosevelt, dan peneliti itu adalah George Gallup, pendiri perusahaan riset kelas dunia Gallup yang terkenal dengan Gallup Pollnya.

Kesimpulan cerita di atas adalah bahwa Big Data saja ternyata tidak cukup, harus dilengkapi dengan Small Data yang memenuhi kaidah perhitungan statistik, agar hasil survei mendekati keakuratan 100 persen.

Bagaimanapun Big Data perlu terus dikembangkan, disempurnakan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Dalam kaitannya dengan Pemilu, kandidat anggota DPR/DPRD dan kepala daerah/presiden dapat menyampaikan pesan yang sesuai dengan aspirasi setiap kelompok pemilih, sehingga tidak berkampanye yang tidak jelas ‘juntrungan’nya, atau asal pidato secara gegap gempita.

Bagi pemilih, pesan-pesan kampanye yang diterima dari para kandidat akan dapat memudahkannya untuk menentukan pilihan.

Pesan-pesan kampanye itu juga akan dapat dijadikan bukti tertulis tentang janji yang diutarakan kandidat, yang dapat ditagih setelah sang kandidat menang.

Kandidat yang memanfaatkan Big Data secara benar akan mendapati kemungkinan terpilihnya lebih besar daripada kandidat lain yang hanya melakukan kampanye secara konvensional, seperti memasang spanduk di pinggir jalan, yang kurang banyak membawa pesan, dan cenderung pamer gelar, kegagahan, atau keanggunan.

Sudah saatnya kita memanfaatkan Big Data untuk kampanye Pemilu yang informatif dan menyelesaikan masalah bangsa.

https://nasional.kompas.com/read/2022/04/15/06300071/big-data-untuk-pemilu

Terkini Lainnya

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke