Hingga saat ini, Indonesia dinilai belum memiliki produk hukum yang cukup progresif dan berperan dalam hal mencegah dan menangani kekerasan seksual.
Terlebih, KUHP saat ini masih dalam proses revisi, sedangkan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS, sebelumnya RUU PKS) belum diundangkan hingga saat ini.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai bahwa Permendikbud yang diteken Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim itu membawa perubahan signifikan di kampus.
"Permendikbud ini sudah sangat banyak membawa kemajuan di kampus-kampus dengan membuat peraturan-peraturan turunan. Beberapa kampus sudah menerapkan peraturan lanjutannya," ujar Isnur dalam jumpa pers, Senin (11/4/2022).
"Permendikbud ini sudah berdaya guna bagi korban-korban yang selama ini mendapatkan kekerasan seksual," tambahnya.
Ia memberi contoh sejumlah kasus kekerasan seksual di beberapa daerah yang didampingi oleh YLBHI.
Menurutnya, para advokat LBH merasa bahwa penanganan kasusnya tak lagi selambat dulu, di mana kampus belum memiliki mekanisme untuk itu.
Permendikbud ini juga dianggap memberikan orientasi yang jelas jika ada kampus-kampus yang tidak menuntaskan kasus kekerasan seksual di wilayahnya.
"Sekarang kampus punya kewajiban menangani ini, membentuk tim, dan lain-lain," kata Isnur.
"Dalam praktiknya, sejak 2021 disahkan, ini nyata manfaatnya buat korban, buat seluruh ekosistem di pendidikan tinggi, baik itu mahasiswa, dosen, para pejabat, untuk tidak gamang lagi menangani kasus-kasus dugaan kekerasan seksual," jelasnya.
Oleh karena itu, YLBHI dan sejumlah organisasi sipil berencana melayangkan amicus curiae atau sahabat peradilan kepada Mahkamah Agung, guna menolak permohonan uji materiil Permendikbud itu yang dilayangkan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM).
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/11/17404471/permendikbud-ppks-dinilai-isi-kekosongan-hukum-terkait-kekerasan-seksual