Anggota koalisi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jakarta Dian Novita menilai tindak pidana itu mestinya turut dibahas karena terjadi di seluruh Indonesia dengan modus, cara, kerugian hingga alat yang dipakai pelaku untuk merendahkan dan menyengsarakan korban.
“Sudah seharusnya tindak pidana ini masuk dalam bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam RUU TPKS sebagai UU lex specialis,” tutur Dian dalam diskusi virtual, Senin (4/4/2022).
Tanpa pengaturan khusus, lanjut Dian, korban pemerkosaan rentan mengalami kriminalisasi.
"Korban pemerkosaan, termasuk korban perkosaan yang hamil rentan mengalami kriminalisasi karena minimnya ketersediaan layanan yang aman,” katanya.
Maka ia mendorong agar DPR dan pemerintah juga memasukkan aturan tentang layanan kesehatan untuk korban pemerkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang berdampak pada tindakan pengguguran kandungan.
“DPR dan pemerintah harus mengakomodasi masuknya jaminan layanan aman bagi korban perkosaan dan korban kekerasan seksual yang berdampak pada aborsi untuk mendapat layanan yang termuat dalam RUU TPKS,” pungkasnya.
Diinformasikan tindak pidana pemerkosaan dan aborsi tidak masuk dalam pembahasan RUU TPKS.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Aditya menyebut dua persoalan itu tidak dimasukan pemerintah dalam daftar inventarisasi masalah (DIM).
Sedangkan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan pemerkosaan tidak turut dibahas dalam RUU TPKS untuk menghindari tumpang tindih dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebab pemerkosaan sudah diatur dalam KUHP yang saat ini sedang dalam proses revisi.
Sementara itu Willy mengungkapkan Badan Legislasi (Baleg) DPR akan mengadakan rapat pleno pengambilan keputusan tingkat 1 RUU TPKS pada Selasa (5/4/2022) besok. Sehingga pembahasannya bisa segera dibawa ke rapat paripurna DPR.
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/04/12393571/koalisi-masyarakat-sipil-desak-tindak-pidana-pemerkosaan-dimasukan-ke-ruu