Salah satu terobosan yang mengundang perhatian publik terkait dicabutnya larangan keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam keikutsertaannya seleksi prajurit TNI.
Ia beralasan bahwa tidak ada landasan hukum dalam kebijakan melarang keturunan anggota atau simpatisan PKI mengikuti seleksi penerimaan prajurit TNI.
"Yang lain saya kasih tahu ini, TAP MPRS Nomor 25 tahun 66, satu menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang tidak ada kata-kata underbow segala macam. Menyatakan Komunisme, Leninisme, Marxisme sebagai ajaran terlarang itu isinya,” kata Andika saat memimpin rapat panitia seleksi, dikutip dari channel Youtube Jenderal TNI Andika Perkasa, Kamis (31/3/2022).
Ia menegaskan TAP MPRS 25 Tahun 1966 legal sebagai landasan hukum. Akan tetapi, landasan hukum itu tak menyeret keturunan PKI.
“Ini adalah dasar hukum, ini legal ini. Tapi tadi yang dilarang itu PKI, kedua adalah ajaran Komunisme, Marxisme, Leninisme, itu yang tertulis. Keturunan ini melanggar TAP MPR apa?, Dasar hukum apa yang dilanggar sama dia?," ujar Andika.
Andika mengingatkan supaya panitia seleksi tidak keliru dalam memaknai TAP MPRS 25 tahun 1966 tentang tentang pembubaran dan pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunis, Marxisme, Leninisme.
"Jadi jangan kita mengada-ada, saya orang yang patuh peraturan perundangan, ingat ini. Kalau kita melarang, pastikan kita punya dasar hukum,” kata Andika.
“Zaman (kepemimpinan) saya tidak ada lagi keturunan dari apa tidak, karena apa saya menggunakan dasar hukum, oke. Hilang (cabut) nomor empat (ketentuan keturunan PKI)," sambung Andika.
Hapus tes renang dan akademik
Selain memperbolehkan keturunan PKI mengikuti seleksi penerimaan prajurit, Andika juga mengambil langkah yang tak kalah mengejutkannya dengan mencabut mekanisme tes renang dan akademik.
Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ini menganggap tes renang tidak adil.
“Itu tidak usah lagi, kenapa renang kenapa? jadi nomor tiga kenapa? karena apa? kita enggak fair juga ada orang yang enggak pernah renang, nanti enggak fair, sudahlah,” kata Andika.
Andika juga menganggap, mekanisme penerimaan prajurit juga tak perlu lagi menerapkan tes akademik.
Menurutnya, dalam bidang akademik, panitia seleksi cukup mengambil nilai akademik dari ijazah peserta.
“Menurut saya, tes akademik ini sudah ambil saja IPK, terus transkripnya, karena bagi saya yang lebih penting yaitu tadi ijazahnya saja, ijazah SMA itu lah akademik mereka,” jelas Andika.
“Enggak usah lagi ada tes akademik, tes akademik ya tadi, ijazahnya tadi, kalau ada ujian nasional udah itu lebih akurat lagi, itu lah dia,” sambung dia.
Adapun kebijakan ini berlaku dalam proses seleksi di tingkat daerah hingga pusat.
Selain itu, Andika juga memerintahkan panitia seleksi untuk segera memperbaiki mekanisme penerimaan prajurit.
“Jadi yang saya suruh perbaiki, perbaiki, tidak usah ada paparan lagi karena sangat sedikit. Tapi setelah diperbaiki itu yang berlaku. Jadi yang PR harus membuat Perpang (Peraturan Panglima TNI) segala macam, segera dibuat,” imbuh dia.
Tak masalah
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi tak mempersoalkan dengan kebijakan Andika yang memperbolehkan keturunan PKI ikut seleksi prajurit TNI.
“Bila soal keturunan PKI bisa mendaftar, saya rasa tidak masalah, kan belum tentu diterima," kata Bobby.
Menurut dia, ada sejumlah tahapan seleksi yang harus dilalui oleh calon prajurit TNI. Salah satunya tes wawasan kebangsaan (TWK).
“Selama tetap ada tes wawasan kebangsaan dan memastikan tidak terpapar pemikiran Leninisme, Komunisme dan Marxisme yang merupakan ajaran terlarang berdasar TAP MPRS Nomor 25/1966," jelasnya.
Meski begitu, Bobby justru menyoroti ihwal dihapusnya tes renang.
Pasalnya, hal itu justru berpotensi menambah pengeluaran negara untuk membiayai pelatih renang ketika calon prajurit resmi bergabung dalam bagian angkatan bersenjata.
"Karena prajurit kan harus siap perang di segala medan, dan keahlian renang bukan soal pemerataan kesempatan, tapi soal kemampuan fisik dasar prajurit, yang akan menambah biaya pelatihan dan tambahan waktu," tutur Bobby.
Langkah progresif
Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai keputusan Andika yang memperbolehkan keturunan PKI daftar tentara sebagai langkah progresif.
Menurut Fahmi, langkah Andika juga sebagai upaya dalam memberikan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
“Sejak reformasi, salah satu concern kita adalah soal penghormatan terhadap HAM. Negara ini memang punya keputusan politik yang melarang ajaran komunisme. Tapi mestinya tidak boleh diterapkan secara membabi buta,” katanya.
Fahmi mengatakan, selama ini TNI masih memberlakukan ketentuan "bersih diri" dan "bersih lingkungan" sebagai syarat menjadi prajurit.
Menurutnya, pembatasan terhadap anak cucu atau pun simpatisan PKI untuk turut serta bergabung menjadi prajurit TNI merupakan keputusan diskriminatif.
Sementara itu, peneliti senior Marapi Consulting and Advisory Beni Sukadis menyebutkan, keputusan Andika tersebut tak perlu dikhawatirkan.
Sebab, Beni mengatakan, keturunan PKI saat ini umumnya sudah memasuki generasi ketiga.
Menurutnya, kondisi tersebut memungkinkan mereka sudah memiliki pandangan yang berbeda dengan para pendahulunya.
“Generasi sekarang lebih melihat hal-hal praktis dalam kehidupan dan dapat memenuhi aspirasi-aspirasi pribadi dibandingkan urusan politik masa lalu dan masa kini. Jadi saya sih enggak khawatir dengan diperbolehkan mereka menjadi calon anggota TNI,” terang Beni.
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/01/07273331/bolehkan-keturunan-pki-daftar-jadi-tentara-kebijakan-panglima-tni-dianggap