Ia mengatakan, bila wacana penundaan Pemilu 2024 digolkan, para penggagasnya tak akan berhenti sampai di situ.
Akan muncul sikap-sikap politik baru yang berupaya untuk mengubah tatanan yang telah diatur melalui konstitusi.
"Akan ada sikap politik baru, yakni misalnya pilpres (pemilihan presiden) tidak perlu langsung, kemudian pilkada tidak perlu langsung, kemudian masa jabatan tidak cukup lima tahun, maka dibuat tujuh tahun, 10 tahun, kemudian bisa saja periodisasi (jabatan) jangan hanya dua periode, tapi tambah tiga periode," kata Titi dalam diskusi Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia, Jakarta, Kamis (17/3/2022).
Ia pun mengatakan, bila wacana penundaan Pemilu 2024 terealisasi, kemungkinan pemberangusan suara rakyat kian terbuka lebar.
Pasalnya, suara rakyat tak lagi dianggap begitu penting ketimbang kepentingan ekonomi.
Kedaulatan rakyat yang berbentuk pemilu pun justru dianggap berisiko mengganggu stabilitas.
"Selain itu ada kemungkinan polarisasi juga menguat karena ketidakpuasan, kegundahan, kekacauan, dan instabilitas di berbagai sektor," kata Titi.
Titi juga menjelaskan, pemahaman yang menganggap pemilu sebagai beban dan menghambat akan dilembagakan oleh pihak-pihak yang berupaya mengegolkan wacana tersebut.
Saat hal yang paling fundamental, yakni komitmen terhadap konstitusi dipatahkan, akan terbangun sikap ekstrem lainnya.
"Dan ketika pemilu secara berkala tidak dipraktikkan sebagai indikator pemilu yang demokratis, maka hal itu yang akan memicu ketidakpastian politik, hukum, yang berdampak pula pada ketidakpastian ekonomi dan dunia usaha," jelas Titi.
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/17/18483611/bila-pemilu-ditunda-diprediksi-bakal-ada-upaya-politik-lain-yang-ubah