Hal itu disampaikan salah satu anak buah Kolonel Priyanto, yaitu Kopda Andreas Dwi Atmoko saat ditanya majelis hakim dalam persidangan kasus itu dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Selasa (15/3/2022).
“Apa yang dibicarakan ketika terdakwa duduk di samping (di dalam mobil) saksi (Andreas)?” tanya ketua majelis hakim.
“Mencari sungai melalui Google Maps,” jawab Andreas.
“Untuk apa?” kata ketua majelis hakim.
“Untuk buang (jenazah korban tabrak lari),” ujar Andreas.
Ketika hendak membuang jenazah kedua korban, Andreas sempat berulang kali memohon kepada Kolonel Priyanto agar mengurungkan niat itu. Andreas memohon kepada Kolonel Priyanto agar kedua korban, yang mungkin masih hidup, dibawa ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan perawatan.
Namun, keinginan tersebut ditolak Priyanto. Priyanto tetap berniat membuang tubuh kedua korban ke sungai di wilayah Jawa Tengah.
Saat mendengar rencana tersebut, Andreas syok karena takut tertimpa masalah di kemudian hari.
“Karena saya punya anak dan istri, kalau ada apa-apa, nanti gimana keluarga saya,” ujar Andreas sembari mengusap air matanya di hadapan majelis hakim.
Selama perjalanan ke Jawa Tengah itu, Andreas berulang kali memohon kepada Kolonel Priyanto untuk memutar balik kendaraan menuju puskesmas. Namun, permohonan itu tetap ditolak. Priyanto bahkan meminta Andres tidak cengeng menghadapi peristiwa yang terjadi.
“Saya sudah memohon. ‘Kamu enggak usah cengeng, saya sudah pernah mengebom (rumah) tidak ketahuan. Tentara enggak usah cengeng’,” ungkap Andreas menirukan pernyataan Priyanto ketika dalam perjalanan menuju Jawa Tengah.
Kasus itu terjadi pada 8 Desember 2021 saat Priyanto dan dua rekannya, yaitu Koptu Ahmad Soleh dan Kopda Andreas Dwi Atmoko, menggunakan mobil Isuzu Panther melewati Nagreg, Jawa Barat, hendak ke Yogyakarta.
Pada sekitar pukul 15.30 WIB di Jalan Raya Nagreg, kendaraan mereka bertabrakan dengan sepeda motor yang ditumpangi Handi dan Salsabila.
Benturan yang kencang membuat Handi dan Salsabila terpental dari motor. Handi tergeletak di dekat ban depan, sedangkan Salsabila masuk dalam kolong mobil.
Dalam persidangan diketahui, sejumlah warga di lokasi kejadian yang menjadi saksi dari pihak Puspom TNI kemudian melakukan pertolongan dan menunggu Unit Laka Satlantas tiba.
Karena Unit Laka Satlantas setempa tak kunjung sampai ke lokasi kejadian, Priyanto kemudian memerintahkan kepada anak buahnya agar Handi dan Salsabila dimasukan dalam mobil. Saat membopong keduanya ke dalam mobil, empat warga yang menjadi saksi menuturkan Handi masih dalam keadaan hidup.
Warga sempat menahan agar Priyanto tidak membawa kedua remaja itu.
Priyanto lalu memerintahkan Dwi untuk memacu kendaraannya menuju Sungai Serayu, Jawa Tengah dan kemudian membuang kedua korban.
Priyanto kini didakwa dengan Pasal Primer 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana jo Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang Penyertaan Pidana, Subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Subsider pertama Pasal 328 KUHP tentang Penculikan juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP, subsider kedua Pasal 333 KUHP Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Subsider ketiga Pasal 181 KUHP tentang Mengubur, Menyembunyikan, Membawa Lari, atau Menghilangkan Mayat dengan Maksud Menyembunyikan Kematian jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Bila mengacu pada pasal 340 KUHP yang dijadikan dakwaan primer, Priyanto terancam hukuman mati, penjara seumur hidup atau selama rentan waktu tertentu, atau paling lama 20 tahun penjara.
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/15/15205911/kolonel-priyanto-cari-sungai-lewat-google-map-untuk-buang-jenazah-handi-dan